. |
Mangantar Tambunan Penerima Ilham Relief Bangunan Tugu/Makam Raja Silahisabungan di Silalahi Nabolak Kecamatan Silahisabungan Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara. |
Hal ini
merupakan keberuntungan bagi Pomparan Raja Silahisabungan dan akan dapat
mengerti dan memahami bagaimana sesungguhnya ketokohan dan kesaktian Raja
Silahisabungan. Peristiwa inipun dapat dilihat dari relief bangunan dinding
Tugu/Makam Raja Silahisabungan yang terletak persis di pantai Danau Toba di
Silalahi Nabolak Kecamatan Silahisabungan Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera
Utara.
Hal inipun
diamini penerima ilham relief bangunan Tugu/Makam Raja Silahisabungan “Mangantar
Tambunan”, diceritakannya semua dapat terbentuk dan tertata rapi asal
muasal perjalanan dan peristiwa Raja Silahisabungan semasa hidupnya adalah
berkat Mangantar Tambunan berdoa secara khusuk kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk
meminta petunjuk agar di dalam mimpinya dapat digambarkan semua, bagaimana awal
mula perjalanan demi perjalanan maupun peristiwa demi peristiwa yang pernah
dilalui Raja Silahisabungan di masa hidupnya.
Tugu/Makam Raja Silahisabungan di Silalahi Nabolak Kecamatan Silahisabungan Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara. |
Peristiwa
tersebut agar dapat menjadi sebuah jalur cerita dan sebuah fakta, selanjutnya
menjadi acuan bagi Pomparan Raja Silahisabungan sampai saat sekarang. Dan untuk
lebih mengetahui yang sebenarnya bagaimana perjalanan dan peristiwa yang dialami Raja
Silahisabungan semasa hidupnya terlihat dengan
jelas di relief bangunan Tugu/Makam Raja Silahisabungan, untuk memahami yang
sebenarnya mari berkunjung sekaligus berwisata ke daerah Silalahi Nabolak dan
di sana nantinya ada pemandu untuk menjelaskannya.
Selanjutnya
Mangantar Tambunan mengakuinya paling unik, apabila tidak sesuai dengan
perjalanan dan peristiwa yang dilalui Ompu Raja Silahisabungan semasa hidupnya,
bagaimanapun caranya dilakukan untuk mengerjakannya atau mengukirnya tidak akan
pernah jadi bahkan hancur berantakan, demikian kesaksian Mangantar Tambunan.
Mangantar Tambunan yang berdomisili di Pematang Siantar Provinsi Sumatera Utara tersebut menyatakan, suatu kenyataan dalam hidupnya setelah selesai mengerjakan dan membentuk relief bangunan Tugu/Makam Raja Silahisabungan dan siap untuk diresmikan (diresmikan bulan November 1981) diapun menemukan jodohnya dan langsung menikah.
Peninggalan Nilai-Nilai Unggul Raja Silahisabungan Di Silalahi Nabolak
Dolok Hole
Tempat ini
merupakan sejarah peninggalan Raja Silahisabungan dan sampai saat ini di jaga
dan dipelihara kelestariannya, karena tempat ini merupakan tempat Raja
Silahisabungan menerima “Hadatuon dan
Parbinotoan” (kesaktian), bagaimana cara - cara memimpin dan mengatur
masyarakat banyak sebagaimana lazimnya sebuah pemerintahan.
Di Dolok
Hole inilah Raja Silahisabungan menerima sebuah buku “Laklak Tombaga Holing” ,
buku laklak tersebut bertuliskan agong (arang) dari Humala Jolma. Setelah Raja
Silahisabungan menerima buku laklak ini, bukan berarti dia langsung merasakan
mamfaatnya akan tetapi diapun di uji dan di uji melalui Babiat dan ular yang besar.
Akibat
ketangkasan dan kepintaran Raja Silahisabungan, diapun lolos dan mulai saat itu
Raja Silahisabungan semakin sakti dan penuh wibawa dan mampu memimpin maupun
mengatur masyarakat dengan penuh bijaksana.
Aek Lassa Bunga
Raja Silahisabungan
hendak bertapa untuk meminta sesuatu kepada “Debata Mulajadi Nabolon,” terlebih
dahulu membersihkan diri dan mandi di “Aek Lassa Bunga,” konon ceritanya Raja
Silahisabungan dapat bertemu dan berbicara dengan Humala Jolma. Dan sampai
sekarang tempat ini masih ditunggui atau di jaga oleh Babiat sekaligus di
tempat ini babiat tersebut tidur (panggompanganna).
Aek Lassa
Bunga tersebut di bagi Raja Silahisabungan kepada ke delapan keturunannya
(anaknya) yaitu 1. Loho Raja, 2. Tungkir Raja, 3. Sondi Raja, 4. Butar Raja, 5.
Dabriba Raja, 6. Debang Raja, 7. Batu Raja dan 8. Tambun Raja dan pasiahon
boruna Deang Namora. Tempat (huta) yang pertama kali di huni dan dibuat Raja Silahisabungan dinamai, “
Huta Lahi”, dan di Huta Lahi inilah anak-anaknya lahir semua.
Setelah
anak-anaknya berumahtangga semua Raja Silahisabungan memberikan tempatnya
(hutana) masing-masing, dan sampai saat ini masih jelas nama-nama huta anaknya
tersebut sesuai dengan anak paling sulung dan anaknya bungsu. Untuk menempati
Huta Lahi tersebut diserahkan kepada anaknya yang ke empat Butar Raja.
Batu Najongjong dan Batu Nagadap
Suatu hal
yang paling histeris peninggalan nilai-nilai unggul Raja Silahisabungan adalah
tempat “Persidangan” dan sampai saat ini tanda itu masih utuh dan terawat
dengan baik adalah dua batu berukur besar, yang satu berdiri tegak dan yang
satu lagi rebah (sada gadap dan sada tindang) inilah yang dinamai, “Batu
Najongjong dan Batu Gadap.”
Prasasti Batu Najongjong dan Batu Nagadap. |
Batu
Najongjong dan Batu Gadap ini menurut
ceritanya adalah merupakan petunjuk
kepada pihak yang benar dan kepada pihak yang salah. Setiap ada suatu peristiwa
atau tertuduh maupun terdakwa apabila tidak mengaku atas perbuatannya, maka
mereka di bawah ke tempat ini dan di suruh meletakkan sirih di atas batu
tersebut.
Bila seseorang
tertuduh benar akan berdiri tegak seperti tegaknya batu, maka keluarganya
selamat, hidup bahagia dan sejahtera dan sebaliknya apabila tertuduh memang
benar-benar bersalah dan tidak mengakui perbuatannya, maka diapun akan jatuh
seperti batu rebah dan keluarganyapun akan mengalami sengsara dan beberapa
waktu berselang yang bersangkutan meninggal dunia.
Simalas
Tempat ini
merupakan tempat ditemukannya jenazah Deang Namora di sebuah gua batu,
satu-satunya putri Raja Silahisabungan, suatu peristiwa yang tak lazim karena
untuk melihat tempat ini bukanlah sembarangan orang, akan tetapi bagi mereka
yang mempunyai kekuatan di luar kepintaran manusia.
Di Simalas
inilah tempat Deang Namora untuk mandi dan tempat bersemedi. Dulunya untuk
meminta sesuatu kepada Deang Namora yang memimpin (manghasuhuthon) atau sibaso
marga Sinabutar, hal inipun dilakukan agar Deang Namora senang hatinya.
Peninggalan Deang Namora seperti baju-bajuna, abitna, hande-hande, hujur dan
hajut masih utuh sampai sekarang dan di simpan dengan baik di rumah Turpuk Marga Butar Raja. Barang pusaka ini
masih ada aslinya, hanya gajut yang sudah di ganti.
Mual Sipaulak Hosa Loja
Ketika
berjalan kaki menyelusuri pebukitan berliku-liku jalan ke puncak gunung Lae
Pondom di lereng pebukitan tersebut ditemukan mata air yang airnya sangat jernih,
walaupun musim kemarau mata air tersebut selalu ada memancurkan air ke luar
dalam batu. Mata Air tersebut dinamakan, “Mual Sipaulak Hosa Loja,” namun sekarang jalan menuju ke mata air
tersebut sudah dapat dilalui kenderaan roda dua dan roda empat dengan jalan mulus di aspal.
Mual
Sipaulak Hosa Loja ini selesai di minum perasaan dahaga hilang, dapat
menambah tenaga dan semangat kembali. Mual Sipulak Hosa Loja ini konon ceritanya ketika
Raja Silahisabungan bersama Inanta Soripada boru Padang Batang Hari berangkat
menuju kampung hula-hula marga Padang Batang Hari untuk melepas rindu sekaligus
bersilaturahmi.
Mual Sipaulak Hosa Loja sebelah kanan. |
Raja
Silahisabungan bersama istri boru Padang Batang Hari berjalan menyelusuri jalan
demi jalan dengan penuh semangat agar cepat sampai, bahkan mendaki gunung mereka
lalui dan tidak menghiraukan teriknya matahari, karena kampung Hula-hula marga
Padang Batang Hari berada di balik gunung Lae Podom.
Di tengah
perjalanan istrinya boru Padang Batang Hari merasa capek, letih dan haus karena
mereka tidak membawa bekal, akhirnya boru Padang Batang Hari meminta air kepada
Raja Silahisabungan, di saat-saat capek dan letih Raja Silahisabunganpun sadar
bahwa ditengah-tengah hutan belantara dan di lereng gunung tidak ada sumber
mata air.
Dengan penuh keyakinan dan berdoa dengan khusuk kepada Mulajadi Nabolon untuk meminta air, setelah selesai berdoa Raja Silahisabungan memantulkan tongkatnya ke lereng gunung batu besar, akhirnya keluar air dari batu besar di lereng gunung tersebut. Seketika itu istrinya boru Padang Batang Hari di suruh diminum, maka perasaan haus dan capek pun hilang bahkan tenaga pulih kembali.
Setelah perasaan capek dan letih merekapun melanjutkan perjalanan menuju kampung
hula-hula marga Padang Batang Hari dengan penuh semangat. Sumber mata air inilah yang dinamakan, “Mual
Sipulak Hosa Loja.” Keberadaan mata air ini sampai sekarang masih ada dan
lokasinya telah dibangun dengan rapi, airnya dapat diminum langsung tanpa di
masak. (Tulisan ini dimuat di Sumatera24jam.com, MH/J24/S24/Fendi Sinabutar).
0 Komentar