Ilustrasi unjuk rasa. ( Foto: Antara ) |
Mereka melakukan teror psikologis kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai institusi resmi penyelenggara pemilu.
Aksi Kedaulatan Rakyat (AKR) itu pertama kali dicetuskan oleh Amien Rais dan didukung oleh Badan Pemenangan (BPN) Prabowo Sandi. AKR muncul setelah narasi people power direspon secara profesional oleh negara, lewat Polri, dengan menjerat para provokator aksi ini dengan tuduhan makar.
“Sekilas,
narasi yang dibuat ini memiliki nilai kebenaran. Akan tetapi, apabila dibedah,
maka sangat jelas terlihat bahwa ini adalah narasi-narasi yang miskin
argumentasi atau baseless, bahkan cenderung kekanak-kanakan,” ujar analis
konflik dan konsultan keamanan, Alto Labetubun di Jakarta, Sabtu (18/5/2019).
Beberapa
narasi dan imbauan AKR yang dimaksud, antara lain meminta negara bertanggung
jawab atas meninggalnya ratusan anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara
(KPPS) saat pelaksanaan Pemilu 2019.
Lalu,
menuntut pertanggungjawaban penyelenggara pemilu atas segala bentuk kecurangan
yang terjadi secara masif, sistematik, dan terstruktur. Selain itu, menolak
hasil perhitungan penyeleggara pemilu yang dinilai telah melanggar ketentuan
undang-undang serta menuntut pemerintah atas ketidakadilan hukum terhadap
rakyat, penyimpangan pelaksanaan pemilu, dan penyalahgunaan kekuasaan untuk
kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.
“AKR,
misalnya, memakai narasi kecurangan dengan mengutip UU Pemilu. Tetapi, mereka
sama sekali lupa bahwa amanat UU Pemilu memberikan ruang bagi peserta pemilu,
baik pileg maupun pilpres, untuk melaporkan kecurangan, tindak pidana yang
berkaitan dengan pemilu, bahkan sengketa pemilu,” kata Alto.
Dengan
demikian, kata Alto, maka argumentasi AKR ini adalah hipokrit. AKR terkesan
berniat menegakkan hukum, tetapi caranya justru mencederai hukum itu sendiri
dengan melakukan provokasi yang berpotensi menciptakan instabilitas.
Secara
taktis, kata dia, ada kemungkinan AKR itu bisa terjadi sesuai desain, tetapi
kemungkinannya (likelihood) sangat rendah. Sangat terlihat bahwa nafsu (appetite)
dari partai politik peserta pemilu yang dulu bersama-sama dengan para pensiunan
penggerak AKR itu sudah tidak ada lagi.
“Maka,
suplai dana pun sudah semakin berkurang. Di samping itu, menggerakkan orang di
seluruh Indonesia itu tidak gampang, karena setiap daerah memiliki konteks yang
berbeda-beda. Tentunya, keberhasilan dan ketegasan intelijen dan Polri yang
dibantu TNI untuk mengamankan proses pemilu itu menjadi deteren yang ampuh,”
tuturnya.
Oleh
karena itu, ujar Alto, terlihat bahwa AKR sama sekali tidak mengatasnamakan
rakyat, bahkan secara lugas menarik rakyat ke dalam konflik dan disintegrasi.
Apabila terjadi, AKR sangat merugikan bangsa dan negara Indonesia, termasuk
rakyat Indonesia yang sebagian besar cinta damai.
“Itu
artinya, AKR adalah gerakan mandul yang dilakukan oleh beberapa orang
pensiunan, seperti Amien Rais, didukung oleh BPN yang keberadaannya sudah tidak
relevan lagi karena sudah ditinggal oleh partai politik yang dulu bersama-sama
di dalamnya.
Ini adalah upaya segelintir pensiunan yang berkolaborasi dengan
kelompok yang mengkampanyekan kekerasan berbasis ekstremisme untuk berkuasa,
walaupun darah dan nyawa rakyat menjadi tumbalnya,” ujar Alto.
Sumber: Suara Pembaruan
0 Komentar