Respon Tulisan Mengapa Saya Tidak Bersama PSI ?
Ir Tigor GH Sinaga |
Oleh: Ir Tigor GH Sinaga
Jambipos-Dunia perpolitikan sedikit gaduh ketika media masa memberitakan bahwa pertemuan bang Surya Paloh dengan Anies Baswedan serta pertemuan bu Mega dengan Prabowo adalah sinyal dukungan untuk kepentingan 2024.
Spekulasipun bertebaran, SP akan mendukung penuh Anies bersama PKS sementara Prabowo akan maju bersama Gerindra dan PDIP, komentar para pihak pun semakin menghangat.
PDIP melalui Eva Sundari merasa kecewa atas pertemuan Surya Paloh dan Anies. Disisi lain Tsamara dan Raja Juli Antoni dua petinggi PSI mengambil sikap tegas bahwa PSI tak akan pernah mendukung orang atau partai yang mempolitisasi agama untuk berkuasa.
Reaksi atas pertemuan keempat tokoh tersebut merupakan narasi dari persepsi para pihak, semua berhak dengan persepsi masing masing.
Persepsi seseorang terhadap suatu peristiwa tentu sangat erat dengan latar belakang, wawasan serta kemampuan analisa seseorang, dan narasi yang dibangun biasanya berkait erat dengan kepentingan masing-masing.
Sesungguhnya pertemuan tersebut adalah pertemuan biasa. Namun karena dilakukan oleh tokoh utama politik pada momentum dengan nilai ketegangan yang mulai menghangat, kembali paska keputusan pilpres.
Pertemuan ini menjadi penting artinya dan menjadikan momentum lahirnya berbagai persepsi dengan bermacam narasi pula.
Bahkan seorang Birgaldo memanfaatkan momentum ini untuk membalaskan dendamnya ke PSI dan secara demonstratif membela partainya...he..he..ini politik bro !! Bang Surya Paloh tak perlu kau bela !!
Sangat diyakini bahwa kepentingan para pihak yang bertemu tidaklah sesederhana yang terlihat mata. Banyak the hidden agenda di dalamnya.
Dapat dipastikan kalaupun ada dukungan kepada Anies dan Prabowo bukan sebatas kepentingan pragmatis semata, pasti ada alasan lain dalam bingkai kebangsaan atau bahkan politik kebhinekaan yang mungkin belum terbayangkan oleh kita Birgaldo. Salam hangat.(*)
Mengapa Saya Tidak Bersama PSI?
Demikian judul artikel yang dituliskan Birgaldo Sinaga. Berikut ini sisi artikel itu: Dalam berteman ayah saya selalu memberikan wejangan untuk setia kawan dan jangan menikam dari belakang.
Jika tidak bisa membantu kesusahannya setidaknya jangan menimpuknya dengan rundungan. Ayah saya seorang Polisi Brimob yang sangat mencintai tanah airnya. Sama seperti ayah Pak Surya Paloh seorang polisi Brimob.
Kemarin, seorang teman mengirim pesan pada saya. Ia menanyakan pendapat saya soal pertemuan Pak Surya Paloh dengan Anies Baswedan. Ramai riuh opini bertebaran menanggapi pertemuan itu.
Di kamar lain, ada juga pertemuan antara Prabowo Subianto dan Megawati Soekarno Putri. Dua pertemuan tokoh politik nasional ini menjadi trending topik di lini masa.
Saya membaca banyak komentar dari netizen. Baik netizen biasa maupun teman2 yang punya posisi penting di partai. Rekan partai koalisi, PDI Perjuangan melalui Eva Sundari memberikan komentar kecewa atas pertemuan SP dan Anies. Sedangkan PSI melalui Ketua DPP PSI Tsamara dan Sekjen PSI Raja Juli Antoni memberi komentar keras bahkan menurut saya sangat kelewatan dalam tataran bahasa diplomasi rekan satu koalisi.
Tsamara dengan menggebu-gebu menuding Partai NasDem pragmatis. Ia juga mengorek luka lama saat Grace Natalie mencemooh partai nasionalis lama yang menurut PSI pragmatis dan mendukung perda Syariah.
Raja Juli Antoni dengan lihai mengambil momen menembak 12 pas NasDem. Dengan kalimat memantul, RJA mengklaim partainya berbeda dengan NasDem. PSI tidak akan pernah mau mendukung Anies yang mempolitisasi agama untuk berkuasa. Dalam artian, kalimat negasi RJA memberikan penekanan bahwa SP adalah pendukung politisasi agama.
Muanas Alaidid dan Dedek Uki salah dua petinggi PSI memention saya soal pertemuan SP dan Anies. Muanas dengan satir mencubit saya dengan ucapan Congrats atas dukungan NasDem pada Anies.
Ia meledek saya yang publik tahu bahwa saya adalah lawan paling getol mengkritik Anies Baswedan. Sejak Pilgub DKI sampai sekarang.
Sejatinya saya rada malas menanggapi semua ocehan gak bermutu dari pentolan PSI ini. Buat saya, semua serangan PSI ke partai nasionalis tak lebih cara mereka mencuri remah-remah suara electoral agar suara itu bermigrasi ke mereka. Cari perhatian.
Dan itu dilakukan Grace Natalie saat berpidato pada 11 Maret 2019 di Medan. GN menyerang rekan partai sekoalisi agar dapat muntahan dari simpatisan partai nasionalis lama. Buat saya ini tak punya etika dalam bertanding. Jauh dari sportifitas.
Surat Terbuka Birgaldo
Atas pidato GN itu saya menulis surat terbuka untuknya. Baca disini. (https://www.saturepublik.com/surat-terbuka-untuk-ketum-psi-grace-natalie-oleh-birgaldo-sinaga/)
Sejak tulisan itu muncul, oleh buzzer dan simpatisan PSI saya dimusuhi. Dijadikan common enemy. Padahal selama ini saya tidak pernah menyerang PSI. Saya sebelumnya selalu mendukung teman2 PSI. Mba Susy caleg DPR PSI bahkan sering saya komen memberi semangat padanya.
Buat saya mereka teman seperjuangan dalam misi membangun Indonesia yang toleran, bebas korupsi dan sejahtera. Tapi begitulah hukum alam. Ada aksi, ada reaksi. Saya bereaksi atas serangan GN yang menurut saya offside.
Hari ini, saya dibuat terperanjat. Terkejut setengah mati. Ramai di twitter dan fesbuk serangan secara personal pada diri saya. Dalam pesan yang saya terima dan baca di media sosial ada postingan yang mengatakan saya menyerang PSI karena pernah ditolak lamarannya saat melamar jadi caleg PSI.
Sebuah potongan email yang dicrop diupload ke medsos oleh Halimah. Ada juga foto wajah saya diposting Andi Saiful Haq dengan tulisan "Birgaldo Sinaga, kader NasDem, pernah melamar jadi caleg PSI tapi menolak audisi dan wawancara dengan alasan sudah tokoh ngapain wawancara lagi?
Menyerang secara personal dengan membuka komunikasi email yang bersifat rahasia dan confidential menurut saya sangat tidak etis dan tidak beradab. Komunikasi email ketika dibocorkan ke publik untuk menyerang adalah ciri-ciri orang bermental pecundang dan pengecut. Tidak mampu berargumentasi lalu memakai peluru lain untuk menikam lawan.
Baiklah, karena PSI sudah memframing personal saya dengan niat jahat dan tak beretika, dalam fatsun politik saya punya hak membela diri. Membuka informasi seterang2nya agar publik tahu yang sebenarnya dan apa yang terjadi.
Apakah saya pernah mengirim CV ke PSI?
Begini ceritanya..Pada awal November 2017 lalu, saya dan teman2 Pendawa Lima yakni Denny Siregar, Abu Janda, Eko Kunthadi, Kyai Enha minus mbok Niluh berkunjung ke Mako Brimob Depok tempat Ahok ditahan. Kami merindu badai ingin bertemu Ahok.
Usai bertemu Ahok, kami mampir ke kantor Bro Denny Siregar yang berlokasi di Depok. Denny bersama temannya Mba Rachma sedang berbisnis start up Baboo.
Kami berlima mojok di teras balkon lantai 3. Denny punya cita rasa lumayan merancang kantornya sekaligus tempat nyantai ngopi bareng dengan view hamparan kejumudan Depok yang gersang.
Entah mengapa kami ngobrol soal cerita caleg. Saya lupa siapa yang memulainya. Tapi perbincangan itu cukup lama. Pokoknya perwakilan dari pegiat medsos kudu ada nyaleg. Begitu kesimpulannya.
"Bro Bir.. Elulah cocok nyaleg sebagai utusan pegiat medsos dari kita", ucap Eko Kuntadhi sambil menghembuskan rokok putihnya.
Saya menolak ide Eko. Saya memberi saran Denny lebih berpeluang. Secara popularitas dan follower Denny lebih banyak. Lagian saya tak punya uang berlebih.
"Setuju gue bro. Elo kan suka narsis bro. Gue gak bisa kayak elo narsis. Politikus itu cocok elo bro", ujar Denny dengan muka menahan tawa. Denny akhirnya menolak.
"Ana sepakat. Antum pas jadi anggota dewan Bang Bir. Sepakat ana. Cucok", balas Kyai Enha dengan kharisma khas kyai.
Saya mesem saja. Dalam hati senang juga dapat suport mereka. Tapi cerita soal nyaleg ini tidak semudah menyeruput kopi Den.
"Elo masuk PSI aja bro. Gue telpon Raja Juli ya biar elo daftar ke PSI", ujar Denny makin bersemangat.
"Pokoknya elo tenang aja. Daftar terus nanti kita suport elo", balas Eko menimpali bujukan Denny.
Sejak November sampai Maret 2018, saya tidak punya alasan untuk nyaleg. Saya sadar diri. Saya mengukur diri. Untuk nyaleg butuh duit gede. Juga butuh basis massa yang jelas. Sementara saya? Duit megap-megap. Saya juga bukan warga Jakarta. Hanya bermodalkan dukungan teman2 media sosial. Termasuk Denny, Eko, Abu Janda, Mbok Niluh dan Kyai Enha dll.
Saya beberapa kali berjumpa dengan Denny di awal 2018. Dalam perjumpaan itu, Denny selalu menanyakan apakah saya sudah mengirimkan CV ke PSI? Saat itu saya belum tahu Denny sudah merapat ke PSI sebagai corong pencitraan PSI.
Saya menghormati Denny. Hati saya belum penuh untuk nyaleg. Tapi dorongan Denny sebagai teman kudu saya apresiasi. Saya menolak dengan halus sebenarnya. Saya menjawab sekenanya bahwa saya malas masuk PSI karena harus menyiapkan video dukungan, makalah dan tetek bengek lainnya.
"Elo tenang aja Bir. RJA dan Andi Budiman itu teman gue. Gue rekomen elo gak usah pake syarat itu. Ini nomor Andi Budiman. Hubungi dia", ucap Denny sambil menyodorkan nomor WA Andi Budiman seorang pentolan DPP PSI.
Pertengahan Februari 2018, Mbok Niluh Jelantik menelepon saya. Saya sedang berada di Medan membentuk relawan Djarot Sihar.
Mbok Niluh butuh video testimoni saya mengapa Niluh layak dipilih sebagai Caleg DPR. Saat itu saya tidak terpikir mau nyaleg. Saya fokus membantu pemenangan Djarot Sihar di Sumut. Selama Pilgub Sumut saya berada di Medan.
Dari Medan saya merekam testimoni saya untuk Mbok Niluh. Testimoni ini perlu agar Mbok Niluh diterima PSI sebagai caleg. Video testimoni sebagai salah satu syarat yang diperlukan.
Sebagai teman, saya mendukung Mbok Niluh. Video testimoni saya itu dipublis secara official di laman FB Partai Solidaritas Indonesia. Lihat sini. (https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=961158817364659&id=320858334728047)
Maret 2018, saya kembali ke Jakarta. Saya bersua kembali dengan Denny. Denny menanyakan soal komunikasi saya dengan Andi Budiman. Apakah saya sudah menghubungi Andi Budiman. Tanya Denny.
Saya menjawab belum. Lalu berjanji akan menghubungi Andi Budiman.
Saya mengirim pesan chat esoknya ke Andi Budiman. Menyampaikan saya teman Denny Siregar. Menyampaikan maksud dan tujuan saya. Andi membalas siap.
Saya berpikir dan merenung lama sebelum memutuskan nyaleg. Tidak mudah. Tidak murah. Perlu kesiapaan mental dan isi tas. Logika dan logistik harus kuat.
Dukungan Denny, Eko Kunthadi, Abu Janda, Kyai Enha dan Mbok Niluh menjadi satu alasan kuat saya mengirim CV itu. Ada dua partai yang masuk radar PSI dan NasDem.
Saya mengirim CV ke PSI sekitar April. Lalu berkomunikasi via chat dengan Andi Budiman dengan jaminan Denny Siregar untuk masuk daftar caleg PSI.
Sampai Mei saya belum memutuskan masuk partai apa. Awal Juni 2018 Andi Budiman mengirim pesan agar datang ke Kantor DPP PSI. Seorang pengurus DPD PSI DKI Jakarta juga mengirim pesan bahwa posisi caleg untuk saya diberikan.
Hingga batas akhir pendaftaran, saya tidak sekalipun berkunjung ke DPP PSI meminta agar mendapat tempat sebagai caleg PSI.
Lalu mengapa saya tidak memilih bersama PSI?
Saya tidak ingin menceritakan hal ini sebenarnya. Tapi karena PSI sudah membocorkan email bahwa saya diframing pernah melamar ke PSI dengan terpaksa saya menuliskan ini.
Kepada Denny Siregar, alasan saya tidak masuk PSI karena audisi wawancara itu hanya menolak secara halus saja. Sebagai teman alasan yang masuk akal tidak elok saya sampaikan.
Apa itu?
Saya mendapat informasi yang kencang bergemuruh di kalangan tertentu. Alasannya hampir sama dengan yang ditulis Ninoy Karundeng itu.
Apa itu?
Banyak rumor beredar orang di belakang PSI adalah Sunny. Sunny adalah kaki tangan Big Bos 9 Naga. Ada juga isu yang beredar PSI digelontori dana dari Bos Djarum dan Syamsul Nursalim. Jeffrie Geovanie adalah tokoh utama di balik jaket merah PSI.
Saya mencoba mengkonfirmasi hal ini. Melakukan cross check. Check dan richek. Slogan bersih Anti Korupsi dari PSI menjadi key poin. Bersih anti korupsi saya maknai laporan finansial PSI harus terbuka dan transparan.
Sayangnya saya tidak menemukan transparansi sumber keuangan PSI. Grace Natalie ditengarai hanya boneka dari pemilik modal yang wujudnya sampai sekarang tidak jelas siapa orangnya. Profil dan portofolio seorang Grace tidak compatible dengan PSI yang kuat secara modal. Membangun partai itu mahal. Trilyunan. Duit darimana?
Suatu hari saya ditanya sama seorang pendukung utama PSI. Beliau saya hormati. Saya menjawab mengapa saya tidak masuk PSI?
"Bu.. Kita sebagai orang tua, kalo anak kita dilamar seorang pemuda, tentu latar belakang keluarganya akan kita tanyakan dan selidiki bukan? Artinya kita tak ingin anak kita masuk ke sarang penyamun. Kudu jelas bobot, bibit bebetnya. Ya begitulah saya mengapa saya tidak masuk PSI. Saya tidak tahu siapa di balik PSI ini".
Juni 2018, saya dan teman2 Pendawa Lima Denny Siregar, Abu Janda, Eko Kunthadi dan Mbok Niluh diundang GEMA Surabaya mengisi diskusi kebangsaan di Surabaya.
Kami berlima bertemu sebagai pengisi acara yang digagas GEMA. Dalam obrolan ngopi berlima itu, Mbok Niluh bertanya pada apakah saya sudah memutuskan nyaleg? Saya menjawab sudah memutuskan masuk NasDem.
"Lho mengapa?", tanya Mbok Niluh.
"Secara teritorial PSI tidak kuat. Kemungkinan besar tidak lolos ambang batas. Dan lagi secara platform partai, saya belum cocok", jawab saya.
Entah mengapa, tetiba Mbok Niluh setuju dengan pikiran saya. Lalu di sana Mbok Niluh membatalkan pencalonannya bersama PSI.
Abu Janda, Eko dan Denny sebagai sahabat mendukung keputusan kami masuk NasDem. Sambil toss saya mendengar ketiganya akan membantu perjuangan kami. Walaupun sampai masa habis masa kampanye pileg tidak sekalipun Denny membantu saya kampanye dalam bentuk endorsement. Tak apalah. Saya faham Denny dihired PSI sebagai ikon PSI.
Seiring perjalanan waktu, masa pileg tiba. Saya fokus pada perjalanan mendukung Ibu Meliana di Medan pada Juli 2018. Lalu petgi ke Lombok Agustus dan Palu Donggala Sigi pada November.
Saya baru fokus kampanye pada Januari 2019.
Masul Dapil 3 DKI Jakarta. Saya fine2 saja dengan PSI. Saya tidak pernah menulis negatif tentang PSI sekalipun saya mempunyai informasi yang miring tentang mereka.
Beberapa kali saya diundang berbicara bertemu dengan Tsamara, Dedek Uki, Viani Limardi, Grace Natali. Semua baik2 saja. Ketawa ketiwi. Saling respek. Saling mendukung.
Lalu, prahara disharmoni itu muncul pada Maret 2019. Ketika Grace Natalie menyerang rekan partai koalisinya saat berpidato di Medan. Dan saya dengan elegan membalas pidato GN itu dengan surat terbuka.
Kemarin, PSI lagi-lagi menyerang Partai NasDem dengan tendensius dan membabi buta. Tanpa tabayun dan menghormati sesama rekan partai koalisi pentolan PSI menyerang NasDem begitu bernafsu dan frontal.
Serangan ini bukan lagi sebagai kritikan teguran sebagai teman. Tapi sudah berniat jahat dengan tujuan menghancurkan nama NasDem di mata pendukungnya yang notabenenya kaum nasionalis pendukung Ahok. Ada rencana terselubung agar suara NasDem bermigrasi ke PSI. Its time to attack.
Saya tidak menyukai perangai busuk seperti yang dipertontonkan teman2 PSI. Dan saya bereaksi keras atas aksi mereka. PSI memposisikan diri bukan sebagai teman saat menyerang NasDem. PSI offside dengan menyepak NasDem agar keluar dari lintasan percaturan politik nasional.
Saya adalah pendukung Ahok. Pendukung yang bukan saja berdiri di belakang meja. Tapi juga dijalanan hadap2an dengan laskar-laskar FPI dan umat 212. Sampai hari ini.
Saya tahu karakter Pak Surya Paloh tidak akan mengingkari janji setianya pada Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan UUD 1945. Saya yakin itu.
Dan PSI dengan kelewatan menyerang NasDem dan personal saya melalui framing saya marah pada PSI karena tidak diterima sebagai caleg PSI. Ini adalah cara norak, kampungan dan tidak etis.
Jadi jelas ya saya tidak masuk PSI bukan karena ditolak lalu marah2. Saya memang dengan kesadaran diri membatalkan ajakan teman2 PSI masuk jadi caleg PSI karena alasan yang saya tulis di atas. Saya bereaksi atas aksi.
Dan pilihan saya ini terkonfirmasi dengan menjauhnya Ahok dari PSI dan memilih berlabuh di PDI Perjuangan. Salam perjuangan penuh cinta. Birgaldo Sinaga. (P.S : Semua komunikasi dokumentasi dengan Andi Budiman dan pengurus DPD PSI DKI Jakarta tersimpan rapi dan bisa saya buktikan). (JP-Lee)
0 Komentar