Pulau Samosir (indonesia.go.id). |
Dr Pernando Sinabutar, S.hut, M.Si. |
Seluas lebih kurang 67.407,21 hektare (ha) adalah
hutan negara dengan rincian Hutan Lindung (HL) lebih kurang 49.731,40 ha; Hutan
Produksi Tetap (HP) lebih kurang
17.673,42 ha; dan Hutan Produksi Terbatas
(HPT) lebih kurang 2,38 ha.
Jika melihat data itu, hampir setengah daratan
Samosir adalah hutan negara, yang berarti untuk memanfaatkannya harus hati-hati
dan seizin pemerintah (dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan/KLHK) dan tidak boleh sembarangan, apalagi yang namanya HL.
Pertanyaannya, apabila daratan yang masih tersisa
(di luar hutan negara) digunakan untuk permukiman masyarakat, fasilitas sosial,
fasilitas umum, lahan garapan, dan pertanian lahan kering yang menjadi sumber
mata pencaharian utama masyarakat setempat, dimana lagi Samosir membangun? Ini
pertanyaan serius, apalagi kebutuhan lahan terus meningkat, sedangkan lahan
terbatas.
Namun demikian, klaim pemerintah atas 46.67% hutan
negara itu, faktanya tidak seluruhnya berfungsi hutan, sebab di dalamnya
ternyata ada permukiman, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan lahan garapan.
Untuk yang demikian itu, pemerintah Jokowi-JK telah
menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 88 Tahun 2017 Tanggal 6
September 2017 Tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.
Substansi Perpres tersebut adalah memberikan
perlindungan hukum dan menyelesaikan hak-hak masyarakat yang menguasai tanah
dalam kawasan hutan.
Masyarakat yang bermukim dalam kawasan hutan, menggarap,
berkebun, bahkan terdapat fasilitas sosial dan fasilitas umum dalam kawasan
hutan, akan diselesaikan melalui Perpres tersebut.
Namun implementasi Perpres tidak mudah.
Karakteristik penguasaan tanah, bahkan pemilikan tanah yang khas di Samosir,
antara lain penguasaannya berdasarkan marga, adalah salah satu faktor
penghambat dalam memenuhi aturan main yang dipersyaratkan dalam Perpres.
Dengan begitu, persoalan penguasaan tanah dalam
kawasan hutan tetap menjadi masalah, dan hutan negara yang sudah diatur harus
tetap diakui, kalau tidak mau berurusan dengan hukum.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Pasal 50 ayat (3) dengan tegas menyebutkan bahwa setiap orang dilarang
mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak
sah; dan merambah kawasan hutan.
Lalu, apa yang musti dilakukan Pemerintah Kabupaten
Samosir untuk mempercepat pembangunannya? Samosir dengan keindahan alamnya yang
unik dan spesifik yang dikelilingi Danau Toba yang tidak ada duanya di
Indonesia itu, perlu tapak (areal) untuk membangun.
Namun, 46,67% tapak itu
adalah hutan negara. Oleh karena itu, perlu strategi dan kebijakan yang
integratif dalam penggunaan dan pemanfaatannya.
Sesungguhnya, hutan negara dapat digunakan dan
dimanfaatkan, misalnya HL melalui pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa
lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Era ini, pemanfaatan hutan
tidak lagi bertumpu pada hasil hutan kayu, namun telah mengarah pada
pemanfaatan jasa lingkungan, dan hasil hutan bukan kayu.
Pemanfaatan jasa lingkungan pada HL dapat dilakukan
melalui kegiatan usaha (a) pemanfaatan aliran air; (b) pemanfaatan air; (c)
wisata alam; (d) perlindungan keanekaragaman hayati; (e) penyelamatan dan
perlindungan lingkungan; atau (f) penyerapan dan/atau penyimpan karbon.
Pemanfaatan yang demikian itu juga berlaku di HP
maupun HPT. Pemanfaatan jasa lingkungan dengan wisata alam dikemas dalam bentuk
ekowisata.
Ekowisata atau ekoturisme merupakan salah satu
kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek
konservasi alam, aspek pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal,
serta aspek pembelajaran dan pendidikan.
Konsep ekowisata memadukan tiga komponen penting
yaitu konservasi alam, memberdayakan masyarakat lokal, dan meningkatkan kesadaran
lingkungan hidup. Contohnya, ekowisata “tangkahan eco tourism” di
Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara, kemudian Desa Wisata Tembi di Daerah
Istimewa Yogyakarta, dan Kawah Ijen di Jawa Timur.
Adalagi di Aceh, yaitu warga di Gosong Telaga, Kecamatan
Singkil Utara, Aceh Singkil yang mengelola hutan mangrove (bakau) menjadi
kawasan ekowisata, termasuk juga ekowisata yang ada di Pulau Rubiah (Aceh).
Ekowisata paling tepat dilirik untuk membangun
pariwisata Samosir yang memiliki tapak hutan negara yang luas. Tren dunia saat
ini menunjukkan bahwa industri pariwisata menjadi penyumbang devisa terbesar,
bahkan mengalahkan sektor migas maupun industri manufaktur yang beberapa dekade
lalu menjadi primadona.
Kekayaan alam, kondisi geografis dan eksotisme budaya,
infrastruktur yang memadai (kemudahan aksesibilitas), bahkan bentang alam yang
spesifik dan menakjubkan (lembah dan gunung silih berganti), kemudian
ditetapkannya Samosir sebagai destinasi wisata strategis, merupakan beberapa
faktor kekuatan untuk membangun ekowisata dimaksud.
Lalu, apa yang musti dilakukan? Ekowisata akan
dibangun di tapak hutan negara, sehingga Pemerintah Kabupaten Samosir harus
segera melakukan koordinasi dan komunikasi dengan KLHK, dan secara khusus
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah XIII yang berkedudukan di Dolok
Sanggul yang memiliki wilayah kerja antara lain KPHL Unit XIX Samosir, dengan
langkah-langkah berikut :
- Mengidentifikasi lokasi yang akan dikembangkan menjadi ekowisata di seputar lingkar Samosir yang beririsan dengan tapak hutan negara, terutama HL. Pemilihan lokasi perlu memperhatikan aksesibilitas, infrastruktur dan bentang alam fisiknya. Lokasi yang dipilih harus mampu mengungkap cita rasa selfie yang alami dan bersahaja;
- Memotret keanekaragaman hayati dan karakteristik sumberdaya alam yang terkandung didalamnya, termasuk biogeofisik arealnya, karakteristik masyarakat di sekitarnya, serta infrastruktur yang sudah terbangun;
- Sejak awal, membangun linkage dengan travel unit (agen perjalanan), bahkan dengan Dinas Pariwisata Samosir, sehingga semua pelaku yang terlibat telah secara bersama-sama memiliki visi dan misi yang sama dalam membangun ekowisata, untuk menghindari ketidaksepadanan informasi (asymmetric information);
- Membangun partisipasi dan pemberdayaan masyarakat wisata, utamanya masyarakat lokal. Masyarakat sekitar harus dilibatkan sejak awal, sebagai pelaku wisata untuk membangun chemistry dan rasa memiliki (sense of belonging).
Pemerintah Kabupaten Samosir harus mampu menghela
satu lokasi ekowisata di tapak hutan negara sebagai contoh. Rancangan
pembangunannya dapat mencontoh desa wisata di wilayah lain, misalnya Jawa
Barat, namun tetap mengedepankan karakteristik dan kekhasan Samosir.
Seharusnya, ekowisata Samosir dapat menjadi contoh
destinasi wisata alam di Indonesia, karena karakteristik alam dan budayanya
yang khas, apalagi balutan alam (bentang alam yang bergunung-gunung) dan
dikelilingi Danau Toba, sangat mendukung.
Pembangunan ekowisata akan berdampak pada
kelestarian lingkungan, lalu masyarakat setempat akan memiliki keberdayaan
ekonomi, dan yang tidak kalah penting adalah Samosir akan semakin dikenal.
Paradigma pemanfaatan kayu sebagai sumber
pendapatan asli daerah, yang pada suatu saat dapat menimbulkan bencana karena
hulunya yang rusak, sudah waktunya ditinggalkan. Pembangunan manfaat tidak
langsung (intangible) dari hutan negara, justru diyakini mampu
menciptakan keseimbangan dan kelestarian lingkungan.
Namun demikian, keindahan dan kenyamanan yang
dirasakan tidaklah cukup bagi terjaminnya kelestarian alam, karena yang tidak
kalah penting adalah bagaimana sikap dan perilaku yang baik dapat dibangun
dalam melestarikan sumber daya alam. (Oleh : Dr Pernando Sinabutar, S.Hut, M.Si Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VI Manado Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)).
0 Komentar