Oleh: Birgaldo Sinaga
Majalah Holong-Pernahkah kamu menjadi seorang pengangguran? Saya pernah. Meski tidak sampai hitungan tahunan. Tapi saya tahu bagaimana perasaan, pikiran dan gejolak hati seorang pengangguran. Saya pernah mengalami kejadian seperti itu.
Pada tahun 2000, saya habis kontrak di perusahaan asing tempat saya bekerja. Saat itu saya cukup sempoyongan perasaan. Lha bagaimana nanti bisa hidup? Bayar kost, makan, ngirim ke kampung, bantu adik sekolah? Itulah pikiran yang menekan.
Lalu saya melamar lagi ke beberapa perusahaan. Sambil melamar saya menjadi PGT alias penghuni gelap tetap di kamar seorang teman. Berbulan juga.
Beberapa kali panggilan saya terima. Tapi gajinya kecil. Ya bagaimana ini? Masak kembali lagi kayak fresh graduate?
Hari2 berjalan. Teman2 seangkatan saya sibuk bekerja, saya luntang lantung mencari kerja. Tidur tak teratur. Pikiran menerawang. Perasaan kalah muncul. Perasaan tak berguna mulai menyergap. Belum lagi perasaan rendah diri. Setiap bertemu teman yang terlihat dari tatapan mereka adalah belas kasihan. Busettt sebel banget.
Menjadi pengangguran bagi setiap orang itu berbeda2 rasanya. Saya bersyukur begitu tamat kuliah langsung bekerja. Bagaimana dengan teman saya yang sejak tamat selalu gagal?
Ada junior saya datang ke Batam. Kami kasih pondokan untuk tinggal. Kami sediakan kebutuhan dasarnya. Beras, indomie, sabun odol tersedia di rumah yg kami sewa untuk junior yang merantau belum bekerja.
Dua tahun sejak tamat tak satupun perusahaan menerimanya bekerja. Saban minggu masukkan lamaran. Saban minggu wawancara dan test masuk. Ia benar2 tertekan dengan keadaan itu. Apalagi dari kampung halaman ortunya mulai sering menanyakan kabarnya. Sudah dapat kerja kamu nak?
Suatu hari, junior saya ini ikut wawancara di salah satu perusahaan elektronik. Ia ikut test akademik, psikotest dan wawancara.
Di ruangan HRD perusahaan itu dia tampak tegang. Wajahnya pucat. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Entah apa yang terjadi, junior saya ini tiba2 jatuh. Ia terkena stroke. Meninggal di tempat. Ia meninggal saat sedang menunggu wawancara.
Kemarin, tersiar kabar seorang perempuan Clarisa Fanisa (35) putri Ibu Tenny Halim tewas bunuh diri. Clarisa nekad melompat dari Lantai 4 Emporium Pluit Penjaringan. Clarisa yang nampak normal biasa aja kesehariannya tiba2 memutuskan bunuh diri. Padahal Clarisa sedang menikmati makan pizza bersama ibu dan keluarganya.
Apa yang sesungguhnya terjadi?
Terbetik berita Clarisa depresi karena sejak lulus dari UNSW Australia dengan predikat Distinction Clarisa belum mendapat pekerjaan. Clarisa menganggur.
Saya banyak membaca komentar publik atas kematian Clarisa. Alih-alih menyampaikan simpati dan empati, yang terbaca adalah judgement. Penghakiman. Juga sumpah serapah.
Saya tidak habis pikir dengan orang yang mudah menghakimi lalu menuding dengan enteng atas tindakan orang. Tanpa mencoba meresapi beban psikis yang dialami Clarisa. Memang mulut itu tidak bertulang. Jempol itu tidak kaku. Bisa menulis apa saja. Seenak udel. Seenak perut.
Apa yang dialami Clarisa tentu buat saya adalah tindakan bodoh. Tindakan bodoh yang seharusnya tidak dilakukannya. Tapi saya pernah pada posisi seperti Clarisa. Bisa merasakan apa yang dia rasakan. Ketika tekanan, perasaan rendah diri, malu, merasa tak berguna, perasaan menyusahkan orang lain berkecamuk dengan tuntutan kebutuhan ekonomi yang tidak kenal kompromi.
Saya mencoba melihat peristiwa tragis yang dialami Clarisa mungkin banyak dialami orang lain. Pasti banyak orang menganggur. Itu artinya potensi bunuh diri kemungkinan ada di depan kita.
Teman saya dulu meninggal saat wawancara. Setelah bertahun2 menganggur gagal dan gagal. Saya juga pernah menganggur. Pernah hidup dalam kondisi pengangguran yang jika tidak diselesaikan akar masalahnya bisa jatuh frustasi, depresi lalu menjurus mengambil tindakan fatal.
Saya ingin berbagi saja pengalaman buat pengangguran yang sedang tertekan. Dunia ini luas. Caramu melihat dunia ini sebatas jurusan kuliahmu yang membuat hidupmu menjadi sempit dan kecil.
Keluarlah dari kesempitan itu. Keluarlah dari tekanan itu. Jika kolam di tempatmu itu penuh pemancing, pergilah ke samudra luas untuk memancing. Mungkin kamu tidak punya kapal besar untuk bisa menjala ikan. Tapi jika kamu cerdik, banyak kepiting dan udang di pinggiran pantai.
Saat saya menganggur, saya melakukan apa saja. Jadi sales asuransi pernah. Jadi sales MLM pernah. Jadi kuli bantu2 pernah.
Apapun yang sedang kamu mimpikan itu yakinlah akan tercapai suatu waktu. Yang penting kamu tetap hidup dan tidak pernah menyerah.
Salam perjuangan penuh cinta
Birgaldo Sinaga.(*)
0 Komentar