Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko Foto: Andhika Prasetia/detikcom |
"Mau pamer sejuta atau dua juta orang, itu
tidak mewakili 192 juta orang yang punya hak pilih," kata Moeldoko dalam
keterangan resminya yang diterima detikcom, Sabtu (20/4/2019).
Moeldoko mengatakan, sebaiknya seluruh pihak menahan diri menanti hasil resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diakui secara konstitusi. Ada konsekwensi bagi siapapun yang coba-coba menghasut.
Dikatakan Moeldoko, dalam Kitab UU Hukum Pidana
Pasal 160 dijelaskan jika ada yang berusaha menghasut di muka umum dengan lisan
maupun tulisan untuk tidak menuruti ketentuan undang-undang, diancam pidana
hingga enam tahun penjara. Hasutan itu termasuk ajakan kepada orang lain untuk
melawan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah, lanjut Moeldoko, akan bertindak
tegas kepada siapapun yang melanggar, termasuk melawan hasil Pemilu yang sah
dan diakui oleh undang-undang.
"Saya ulang ya, tindakan tegas kepada
siapapun!" tegas Moeldoko yang juga Panglima TNI periode 2013-2015 ini.
Terlepas dari itu, Moeldoko juga mengapresiasi
kinerja KPU. Dia bersyukur karena sekitar 80 persen dari 192 juta pemilik hak
suara ikut berpartisipasi dalam pesta demokrasi pada 17 April 2019. "Jumlah yang begitu masif, tapi berlangsung
lancar," ucapnya.
Moeldoko mengaku mendapat laporan ada sejumlah
persoalan yang muncul selama Pemilu, misalnya keterlambatan dan kurangnya
kertas suara, hingga beberapa insiden di lokasi pemungutan suara. Namun melihat
jumlah kasus dibandingkan jumlah pemilih dan total TPS, menurut Moeldoko itu
sangatlah kecil.
"Saya juga melihat KPU sedang berusaha
keras segera menyelesaikan," lanjut Moeldoko. Dia mengingatkan semua pihak
yang ikut dalam kontestasi pemilu menahan diri dan memberi waktu kepada KPU
menyelesaikan pekerjaannya.
"Masing-masing pihak boleh merasa berhak
atas kemenangannya, tetapi itu belumlah resmi sehingga belum mempunyai kekuatan
hukum tetap," tegasnya. KPU baru akan menyelesaikan perhitungan dan
mengumumkan hasil pemilu secara final pada 22 Mei 2019 mendatang.
Moeldoko
mengatakan, siapapun harus bisa menerima keputusan KPU. Jika masih ada keberatan dan mempunyai bukti
yang mendukung, peraturan perundangan-undangan menetapkan mekanisme hukum untuk
menyelesaikan sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).
Moeldoko juga menegaskan, KPU bekerja secara
mandiri. Dia menyayangkan orang-orang yang menuding KPU mewakili kepentingan
pemerintah. KPU bekerja berdasarkan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945.
Dalam pasal itu disebutkan: "Pemilihan
umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional,
tetap, dan mandiri. "Dalam pemilihan anggota KPU, bukan hanya
pemerintah yang terlibat namun juga melibatkan masyarakat dan DPR dalam
melakukan fit and proper test.
Di mana semua partai juga terlibat. Ini
artinya, siapapun yang menjadi komisioner KPU sudah melalui mekanisme yang
fair. "Semua ada aturan mainnya," tegas Moeldoko. (detiknews).
0 Komentar