Berita Terkini

10/recent/ticker-posts

Tarombo Pomparan Raja Silahisabungan


Irjen Pol (Pun) Drs Edison D Haloho
 Oleh: Irjen Pol (Pun) Drs Edison D Haloho 

MHO-Bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa. Suku-suku ini ada yang bermarga dan ada yang tidak. Suku-suku yang bermarga di Indonesia antara lain Batak, Menado, Ambon, Toraja, Timor, dan lain-lain. Bagi masyarakat Batak, marga merupakan jati diri atau identitas sosial kultural yang hingga saat ini dianut kukuh (siagian, 1992: 19). Menurut Sinaga (2006: 227), marga adalah kelompok kekerabatan menurut garis keturunan ayah (patrilineal). Kekhasan yang merupakan jati diri suku Batak, yang membedakannya dengan suku lainnya ialah adanya tarombo (silsilah), partuturon, dan dalihan na tolu (tungku nan tiga).

Tarombo (silsilah) membuat orang Batak yang bermarga tertentu bisa mengetahui generasi ke berapa dirinya dan hubungan kekerabatannya dengan marga-marga Batak lainnya.  Orang Batak yang satu marga atau satu kelompok marga yang satu leluhur pada hakekatnya tidak dapat saling mengawini tetapi harus saling mengasihi, saling tolong-menolong, dan seperasaan-sepenanggungan (korsa).  

Namun ada juga antarmarga tertentu atau antarkelompok marga tertentu yang tidak boleh saling mengawini karena adanya perjanjian (padan) di antara ayah leluhur mereka yang diadakan beberapa generasi sebelumnya. 

Marga membuat orang Batak tahu partuturon (hubungan ke kerabatannya dengan orang lain), apakah dirinya sebagai laki-laki adalah bere, tulang, bapatua, dan apakah sebagai perempuan adalah ibebere, namboru, nantulang, dan lain-lain.  Ada adagium pada orang Batak: orang Batak yang tidak mengetahui silsilahnya sama dengan orang yang sesat atau budak.

Bila suku lain memiliki hubungan kekerabatan berhenti pada keluarga, kelompok, dan komunitas, pada orang Batak, karena adanya larangan pernikahan satu marga membuat lelaki Batak harus menikahi perempuan dari luar marga dan menikahkan anak perempuan ke luar marga.  

Hal ini membuat hubungan kekerabatan orang Batak demikian meluas, langgeng, dan teratur (regulated).  Perkawinan antarmarga yang berbeda ini melahirkan apa yang disebut dalihan na tolu, yakni kekerabatan yang terdiri dari: dongan tubu (suhut atau pemarga), boru (pihak keluarga yang mengambil perempuan dari pemarga), dan hula-hula (pihak keluarga yang memberi perempuan kepada pemarga).

Karena setiap marga mempunyai tarombo (silsilah), membuat orang Batak, seperti dikatakan oleh J.C. Vergouwen (Siagian, 1992: 25), mengetahui asal-usulnya merambat jauh sampai ke masa lampau.  Menurut Vergouwen, ini berlaku bagi orang-seorang maupun kelompok.  

Selanjutnya Vergouwen mengatakan, “Marga lelaki Batak mungkin bermula sejak 15 sampai 20 turunan yang lalu: berarti paling sedikit empat abad yang silam.  Titik temu marga seseorang dengan marga teman lain di dalam suatu kelompok suku berada pada beberapa turunan yang lebih terdahulu lagi, dan begitulah seterusnya hubungan itu berlanjut semakin ke belakang ke zaman tertua yang dikenal, dan akhirnya sampai pada legenda.”

Merujuk pada Vergouwen, kita bisa memastikan bahwa Silahisabungan belum menjadi marga.  Silahisabungan menurunkan delapan marga sesuai dengan jumlah anaknya laki-laki (karena pada orang Batak anak laki-lakilah yang meneruskan marga).
   
Silsilah (Tarombo) Raja Silahisabungan

Mengacu pada berbagai sumber, termasuk dari Pustaha Batak yang ditulis oleh W. M. Hutagalung (1991: 216) dan Sejarah Batak oleh Batara Sangti Simanjuntak (1977: 15),  Raja Silahisabungan merupakan anak ketiga Tuan Sorbadibanua dari istri pertama (Nai Antingmalela boru Pasaribu).  

Anak dari Tuan Sorbadibanua dari istri pertamanya adalah Sibagotnipohan, Sipaettua, Silahisabungan, Sirajaoloan, dan Siraja Hutalima, sedangkan anak dari istri keduanya (Siboru Basopaet) adalah Sitoga Sumba, Sitoga Sobu, dan Naipospos. 

Menurut kedua penulis di atas, Raja Sisingamangaraja I merupakan anak dari Ompu Raja Bonanionan.  Ompu Raja Bonanionan merupakan anak dari Toga Sinambela.  Toga Sinambela merupakan anak dari Siraja Oloan (generasi kelima dari Siraja Batak).  Dengan kata lain, Raja Sisingamangaraja I merupakan generasi kedelapan dari Siraja Batak.

Mengingat Siraja Oloan adalah adik dari Raja Silahisabungan, untuk mengetahui sekitar tahun kelahiran Raja Silahisabungan, kita dapat merunutnya berdasarkan perkiraan tahun kelahiran Siraja Oloan yang dibuat oleh Batara Sangti Simanjuntak (1977: 21-24). 
Menurut  perhitungan Simanjuntak, Siraja Oloan lahir sekitar tahun 1425.  Simanjuntak, dengan merujuk pada berbagai sumber, tanpa ragu sedikit pun menyebutkan dapat mempertanggungjawabkan perhitungannya secara ilmiah.  

Penulis pun tidak meragukan perhitungan Simanjuntak yang dibuat dengan menyandingkannya dengan tarikh dinasti Sultan Aceh (1513-1903) di mana terdapat perjanjian antara Sultan Aceh Alauddin Muhammadsyah dengan Raja Sisingamangaraja IX.  

Dalam buku Sejarah Batak tersebut, Simanjuntak juga mendasarkan dan menyandingkan perhitungannya dengan menelusuri kisah Raja Sisingamangaraja XI yang pernah mengikuti pendidikan militer di Aceh pada tahun 1843-1845, mendapat kunjungan Dr. H. N. van der Tuuk pada tahun 1853 di Bakkara, dan mengunjungi L. Nommensen pada tahun 1865 di Huta Dame, Tarutung.  

Tidak itu saja, Simanjuntak juga menulis perihal Raja Sisingamangaraja XII yang mengunjungi Raja Rondahaim Saragih pada tahun 1871 di negeri Raya, Simalungun untuk membicarakan persiapan pertahanan menghadapi ancaman agresi Belanda.

Mengacu pada Simanjuntak (1977: 22), sekarang kita bisa menyebut Raja Silahisabungan (generasi kelima dari Siraja Batak) lahir sekitar tahun 1423.  Berdasarkan pengetahuan umum, sebagaimana juga disebutkan oleh Simanjuntak, kita ketahui satu generasi adalah 25-30 tahun.  

Khusus untuk Raja Sisingamangaraja, dari Siraja Batak sampai Raja Sisingamangaraja XII, Simanjuntak memakai asumsi satu generasi adalah 30 tahun.  Bila kita jadikan patokan satu generasi adalah 30 tahun, maka Raja Silahisabungan sekarang sudah berusia 590 tahun (memiliki keturunan 21 generasi).

Atas dasar asumsi satu generasi 30 tahun, jika misalnya ada yang menyebut dirinya generasi XIV (keempat belas) dari Raja Silahisabungan, berarti dia lahir sekitar tahun 1813 dan sekarang berumur sekitar 200 tahun.  Bila satu generasi 25 tahun, maka generasi XIV dari Raja Silahisabungan tadi kini berumur 265 tahun!

Keberangkatan Raja Silahisabungan dari Balige

Seperti diketahui, Raja Silahisabungan lahir di Balige.  Pada saat remaja, Raja Silahisabungan meninggalkan Balige bersama abangnya Sipaet Tua dan adiknya Siraja Oloan. Sipaet Tua kemudian pergi ke timur (Laguboti sekarang), sedangkan Raja Silahisabungan dan Siraja Oloan pergi ke barat dan sampai di Bakkara.  

Dari Bakkara dengan berjalan kaki menyusuri pantai Danau Toba dan kadang-kadang dengan perahu pergi ke Pangururan (dekat Gunung Pusuk Buhit). Mereka berdua beristrahat di sini dan kemudian menginap di sebelah timur Gunung Pusuk Buhit, yakni di Siogung-ogung.

Karena betah di Siogung-ogung, Siraja Oloan kemudian memutuskan tinggal di sini.  Sebelum mereka berpisah, mereka lebih dulu membuat ikrar (padan).  Dalam ikrar itu Raja Silahisabungan berpesan:

Jika ada sesuatu yang penting terjadi padamu, beritahukanlah kepadaku dengan membuat asap agar aku bisa menolongmu karena aku masih akan meneruskan perjalananku.

Beritahu kepada keturunanmu bahwa keturunanmu adalah keturunanku  (si sada lulu anak si sada lulu boru). Kesusahanmu adalah kesusahanku (sisada lungun).

Sesudah itu Raja Silahisabungan kemudian meneruskan perjalanannya ke utara hingga tiba di Dolok Hole.  Karena lelah di Dolok Hole Raja Silahisabungan beristrahat dengan bersandar di sebuah pohon yang tinggi dan besar sampai tertidur lelap hingga tidak menyadari seekor harimau dan seekor ular yang sangat besar hendak memangsanya.  

Raja Silahisabungan beruntung karena Humala Jolma  menemuinya dan membuat harimau dan ular lari.  Humala Jolma kemudian mengatakan agar Raja Silahisabungan mengambil dari tengah-tengah akar pohon tempatnya bersandar sebuah buku laklak yang tulisannya berukir dan dari arang.  

Tulisan berukir berisi peraturan dan hukum serta manajemen, kepemimpinan, strategi pertahanan, dan mengelola kekuasaan.  Tulisan dari arang berisi pengetahuan bela diri, cara menghilang, mengobati, menawarkan racun, membuat ramuan obat-obatan dari tumbuh-tumbuhan, menolak bala, mengenal roh-roh halus, menangkal roh-roh jahat, dan kedukunan (keparanormalan).

Pertemuan Raja Silahisabungan dengan Raja Pakpak di Dapdap
Dari Dolok Hole, Raja Silahisabungan kemudian meneruskan perjalanan ke Aek Lassabunga.  

Di tempat ini Raja Silahisabungan bertapa dan mempelajari buku laklak tersebut di atas.  Karena belajar sendiri dari buku (laklak) khusus yang diberikan oleh Humala Jolma kepadanya, Raja Silahisabungan kemudian dikenal sebagai Mulani Haguruon, Mulani Hadatuon, na so hea marguru, na so hea pola hona ajaran (orang yang berilmu tanpa pernah berguru dan memiliki ilmu kedukunan/tabib, tanpa pernah diajar dan belajar dari siapa pun). 

Dari Aek Lassabunga Raja Silahisabungan berjalan kembali hingga tiba di Dapdap.  Jarak Aek Lassabunga ke Dapdap berkisar delapan kilometer.  Aek Lassabunga berada di sebelah selatan Silalahi Nabolak yang sekarang dan Dapdap di utara. 

Di daerah tersebut Raja Silahisabungan kemudian membuka ladang dengan membakar hutan.  Pembakaran hutan ini menimbulkan asap tebal yang tinggi yang membuat Siraja Oloan bisa mengetahui posisi abangnya yang sedang berada dalam keadaan sehat.

Tidak lama setelah membakar hutan, Raja Silahisabungan bertapa.  Pada saat bersamaan Raja Pakpak (Datu Parultop) bersama prajurit yang berjalan beriring-iringan sedang berburu burung dengan menggunakan sumpit (ultop).  

Ketika seekor burung unik nan bagus yang diburu Raja Pakpak melintas di hadapan Raja Silahisabungan, meski sedang bertapa, Raja Silahisabungan segera menangkapnya dengan tangan kosong.  Untuk menutupi kekagumannya atas kehebatan Raja Silahisabungan, Raja Pakpak mengatakan, “Siapa Anda gerangan sampai berani ke sini menduduki tanahku dan membuka ladang di wilayah kerajaanku?”  Raja Silahisabungan menjawab diplomatis, “Aku duduk di tanahku dan minum airku sendiri.”  

(Raja Silahisabungan memang sengaja membawa sebakul tanah dan sekendi air dari Balige tanah kelahirannya).  Karena berkata jujur, prajurit handal dan istimewa yang diperintahkan Raja Pakpak melempar tiga tombak ke Raja Silahisabungan, semua meleset.  

Sebagai seorang yang berhati mulia, Raja Silahisabungan menawarkan jamuan makan kepada Raja Pakpak dan pasukannya.  Raja Silahisabungan bahkan menyerahkan ikan yang cukup banyak untuk dibawa Raja Pakpak dan pasukannya ke Mballa Sikabeng-kabeng.

Beberapa waktu kemudian, Raja Pakpak mengutus prajuritnya ke Silalahi Nabolak untuk kembali meminta ikan dari Raja Silahisabungan guna keperluan pesta agung di Mballa Sikabeng-kabeng.  Prajurit tersebut menginap dan makan di kediaman Raja Silahisabungan.  

Karena nasi dan ikan yang mereka santap demikian cepat tersaji dan tidak kelihatan siapa memasak, prajurit itu kemudian bertanya perihal siapa istri Raja Silahisabungan.  Dari jawaban Raja Silahisabungan tahulah kemudian prajurit tersebut bahwa Raja Silahisabungan belum beristri.  

Kemudian ketika sampai di Mballa Sikabeng-kabeng, prajurit tersebut memberitahu Raja Pakpak bahwa Raja Silahisabungan belum beristri, tetapi dapat menyediakan makanan yang enak dengan sigap seketika untuk mereka.  

Raja Pakpak merasa terharu dan simpatik atas perilaku santun Raja Silahisabungan.  Raja Pakpak lalu menanyakan kembali kepada prajurit dan raja parbaringin apa maksud mereka mengatakan hal di atas dan apa usul mereka.  Mereka mengusulkan agar Raja Pakpak menjadikan Raja Silahisabungan menjadi menantunya. 

Raja Pakpak menyetujui usul tersebut dan kemudian mengutus boru (perwakilan) kerajaan menemui Raja Silahisabungan untuk memberitahu beliau mengenai rencana Raja Pakpak membawa tujuh putrinya yang salah satu darinya akan dimintakan untuk dipilih oleh Raja Silasihasabungan menjadi istrinya.

Keturunan Raja Silahisabungan

Ketika tiba waktunya, Raja Pakpak beserta permaisuri, tujuh  putrinya, dan rombongan berangkat ke hilir untuk menemui Raja Silahisabungan.  Raja Silahisabungan kemudian bersiap menyambut dengan penuh rasa hormat dan berpesan melalui utusan Raja Pakpak yang melaporkan tentang kedatangan rombongan agar ketujuh putrid Raja Pakpak tersebut menyeberangi sebuah aliran sungai (yang sekarang disebut Binanga Nasomaila).  

Raja Silahisabungan meminta hal ini agar dapat memilih dengan tepat salah satu dari ketujuh putri Raja Pakpak tersebut yang di kemudian hari menjadi pendamping hidupnya sampai saur matua (memiliki keturunan dan beranak cucu).

Dokumen Majalah Holong
Ketujuh putri tersebut kemudian satu per satu mulai melintasi Binanga Nasomaila.  Raja Silahisabungan ternyata memilih putri ketujuh meski kelihatan tidak rupawan dan satu matanya cacat.  Raja Silahisabungan memilih putri yang ketujuh karena sebagai orang berilmu tinggi beliau tahu putri tersebut sebenarnya cantik dan tanpa cacat, sedangkan enam yang lain hanyalah putri jadi-jadian.

Sebelum menikahkan putrinya, Raja Pakpak lebih dulu bertanya kepada Raja Silahisabungan, “Apakah sebelum mengenal putriku engkau sudah pernah terikat janji atau memiliki ikatan perkawinan dengan perempuan lain?”  

Raja Silahisabungan kemudian mengangkat sumpah dan mengatakan bahwa beliau belum pernah berjanji dan memiliki ikatan perkawinan dengan perempuan lain (masih lajang).  Raja Pakpak kemudian mengatakan, “Benarlah perkataanmu ini.  Engkau akan mempunyai tujuh anak laki-laki dan satu anak perempuan dari putriku (Pinggan Matio boru Padang Batang Hari). 

Dan engkau tidak boleh membuat putriku dimadu (marimbang)”. Jelaslah bahwa Pinggan Matio boru Padang Batang Hari adalah istri pertama dari Raja Silahisabungan.  Benar seperti yang diramalkan Raja Pakpak tersebut, Raja Silahisabungan memang memiliki tujuh anak laki dan satu perempuan dari Pinggan Matio boru Padang Batang Hari, yaitu Loho Raja, Tungkir Raja, Sondi Raja, Butar Raja, Dabariba Raja, Debang Raja, Batu Raja, dan Deang Namora. 

Di kemudian hari setelah memiliki tujuh  anak laki-laki dan satu perempuan, Raja Silahisabungan menikah dengan Siboru Nailing boru Nairasaon di Sibisa, namun tidak pernah membawanya ke Silalahi Nabolak.  

Poda Sagu-Sagu Marlangan 

Pernikahan Raja Silahisabungan dengan Siboru Nailing boru Nairasaon berawal ketika suatu saat Raja Silahisabungan bermaksud mengamalkan ilmunya ke tempat lain.  Di Sibisa Raja Silahisabungan mengetahui ada seorang putri raja setempat bernama Siboru Nailing boru Nairasaon sedang sakit keras.  Raja Silahisabungan berhasil menyembuhkan putrid raja tersebut dan sebagai balas jasanya Raja Silahisabungan kemudian menikahinya.

Seperti telah disebutkan, dari pernikahannya dengan Siboru Nailing boru Nairasaon, Raja Silahisabungan hanya memiliki satu anak laki-laki, yaitu Tambun Raja.  Uniknya meski Tambun Raja ini lahir dari Siboru Nailing boru Nairasaon, namun disusui dan dibesarkan oleh Pinggan Matio boru Padang Batang Hari seperti anak kandungnya sendiri.

Sebagai seorang yang visioner dan futuristik, Raja Silahisabungan meninggalkan tiga warisan yang sarat nilai: Poda Sagu-Sagu Marlangan (PSSM), tanah (golat) termasuk untuk anak perempuan, dan hukum yang mengatur para pihak yang berperan dalam pesta agung (ulaon horja), yaitu raja jolo, parbaringin, raja jolo ni par turpuk, dan boru na niojakhon.  Khusus mengenai PSSM, PSSM ini memuat lima petuah (perintah) penting kepada semua keturunan Raja Silahisabungan, yang sekiranya diterjemahkan ke bahasa Indonesia mengatakan :

Sesama kalian harus saling mengasihi satu sama lain sampai seluruh keturunan kalian masing-masing. 

Dilarang bagi kalian mengatakan tidak satu bapak satu ibu antara kalian bertujuh dengan adikmu si Tambun Raja, demikian juga dengan dirimu Tambun Raja dilarang mengatakan tidak satu bapak satu ibu dengan abangmu yang tujuh ini. 

Kalian bertujuh beserta seluruh keturunanmu, harus lebih mengasihi anak perempuan adikmu si Tambun Raja dan keturunannya. Demikian juga denganmu Tambun Raja beserta seluruh keturunanmu harus lebih mengasihi anak perempuan ketujuh abangmu dan keturunannya. 

Kalian bertujuh beserta seluruh keturunanmu dilarang mengawini keturunan adikmu si Tambun Raja. Demikian juga denganmu Tambun Raja beserta seluruh keturunanmu dilarang mengawini keturunan ketujuh orang abangmu. 

Dilarang bagi kalian menciptakan pertengkaran atau perselisihan. Bila terjadi pertengkaran ditengah-tengah kalian bertujuh dan seluruh keturunanmu, harus adikmu si Tambun Raja atau keturunannya yang menjadi juru damai, yang menentukan hukum yang benar, adil, tidak berpihak, yang harus kalian patuhi dan tidak boleh kalian tolak. 

Demikian juga denganmu Tambun Raja dan seluruh keturunanmu, bila ada pertengkaran ditengah-tengah keturunanmu, harus dari keturunan ketujuh abangmu yang menjadi juru damai, yang menentukan hukum yang benar, adil, tidak berpihak, yang harus kalian patuhi dan tidak boleh kalian tolak. Bila ada pertengkaran ditengah-tengah kalian dan keturunan kalian, dilarang melibatkan orang lain untuk ikut serta dalam penyelesaiannya.

Dalam PSSM tersirat banyak hal penting yang patut digarisbawahi.  Pertama, Raja Silahisabungan hanya memiliki dua istri.  Dari kedua istrinya Raja Silahisabungan memiliki delapan anak laki-laki dan satu anak perempuan.  

Kedua, meski lahir dari ibu yang berbeda, semua anak Raja Silahisabungan harus menyatakan mereka semua bersaudara kandung (satu ayah dan satu ibu), saling mengasihi, bersatu, tidak boleh saling menikah, tidak memihak, dan patuh pada aturan yang dibuat oleh juru damai yang adil.  

Singkatnya, dalam konteks ini Raja Silahisabungan mengajarkan kasih, damai, adil, bersatu, dan dalihan na tolu (termasuk larangan kawin semarga).  Ketiga, dalam kaitan yang terakhir (larangan kawin semarga), tidak mungkin Raja Silahisabungan memiliki istri dan anak di luar kedua istri dan anak tersebut di atas, sebab Raja Silahisabungan pasti khawatir kalau di kemudian hari sampai terjadi pernikahan di antara keturunannya.
 
Lagipula, tidak mungkin Raja Silahisabungan meninggalkan anaknya begitu saja.  Buktinya, anaknya Tambun Raja masih bayi sekalipun sudah dibawa ke Silalahi Nabolak untuk diasuh dan dibesarkan oleh istri pertamanya.  Ini menunjukkan sangat berharganya nilai kehidupan bagi Raja Silahisabungan.

Pembagian Huta

Dikaitkan dengan golat (tanah warisan), Raja Silahisabungan memberinya kepada delapan anaknya laki-laki dan kepada satu anaknya perempuan masing-masing lahan dan perumahan.  Dari fakta ini pun segera terlihat bahwa Raja Silahisabungan tidak memiliki istri dan anak di luar yang disebutkan di atas.  

Cara Raja Silahisabungan membagi kampung (huta) bagi delapan anaknya laki-laki tergolong unik.  Pembagian kampung pada dasarnya terbagi dua: empat kampung pertama (jika kita menghadap ke tao Silalahi) berada di sebelah kanan sebuah aliran sungai yang sekarang ini dinamakan Aek Sibola Huta adalah kampung dari anak laki-laki Raja Silahisabungan yang bernomor urut kelahiran ganjil (Loho Raja, Sondi Raja, Dabariba Raja, dan Batu Raja) dan empat kampung kedua berada di sebelah kiri sungai Aek Sibola Huta adalah kampung dari anak laki-laki Raja Silahisabungan yang bernomor urut kelahiran genap (Tungkir Raja, Butar Raja, Debang Raja, dan Tambun Raja). 

Aliran sungai tersebut dinamakan Aek Sibola Huta karena berada di tengah dan membelah kampung, (Aek Sibola Huta bermakna “sungai yang membelah kampung”). Lagi-lagi pembagian kampung ini pun menunjukkan Raja Silahisabungan hanya memiliki delapan anak laki-laki.  

Patut digarisbawahi, kebiasaan orang Batak jika membuka lahan dan mendirikan huta (kampung pemukiman) adalah menyediakan dan membagikan huta kepada setiap keturunanannya (panjaean untuk anak laki-laki dan pauseang untuk anak perempuan).  Begitu pula Raja Silahisabungan.  

Beliau bahkan tidak pernah lupa menyediakan huta kepada anaknya yang bungsu (Tambun Raja) dan keturunannya.  Seperti diketahui, ketika Tambun Raja berusia remaja ia kembali ke Sibisa atas anjuran ayahnya Raja Silahisabungan untuk bisa mendampingi ibunya di masa tuanya.  

Dengan kata lain, karena hendak berlaku adil, Raja Silahisabungan tetap menyediakan sebuah huta bagi anaknya Tambun Raja dan keturunannya di Silalahi Nabolak.  Itu sebabnya, kini pun huta yang diwariskan bagi Tambun Raja tersebut ditempati oleh marga Tambunan.  

Perlu dijelaskan pula, bagi orang Batak, penyediaan sebuah huta bagi anak dan keturunannya bermakna penyiapan huta bagi mereka jika di kemudian hari ada dari mereka yang kembali ke bona pasogit (kampung asal) nya.

Patut ditambahkan, luasnya wilayah Silalahi Nabolak (sekarang menjadi sebuah kecamatan di Kabupaten Dairi), keberadaan golat, dan tao Silalahi menunjukkan kebesaran Raja Silahisabungan.  

Penyebutan tao Silalahi membuat tao ini sebagai bagian terbesar dari danau Toba memiliki nama yang khas (sepertinya menjadi satu-satunya nama tao dalam kawasan Danau Toba yang diambil dari sebuah marga).  Pemberian nama ini tidak bisa dipungkiri berkaitan dengan kemasyhuran Raja Silahisabungan.

Sebagai seorang pembuka huta, Raja Silahisabungan telah membangun huta untuk semua keturunannya.  Raja Silahisabungan membangun huta dilengkapi dengan pemukiman, tanah untuk ladang dan sawah, tanah penggembalaan, sumber air, dan hutan sebagai sumber kayu untuk bahan bakar dan membuat rumah.

Raja Silahisabungan meninggal dan dimakamkan di atas tanah miliknya sendiri, yakni di Silalahi Nabolak.  Pada masa itu ( lazim juga dilakukan hingga sekarang ini) orang Batak  selalu dimakamkan di atas tanah miliknya atau keluarganya, sehingga makam juga berfungsi sebagai bukti kepemilikan tanah.  

Dengan demikian, Silalahi Nabolaklah satu-satunya yang disebut bona pasogit (tanah leluhur sekaligus kampung muasal) seluruh keturunan Raja Silahisabungan, dimana Raja Silahisabungan dimakamkan di atas tanah/huta yang dia buka dan mukimi semenjak awal hingga diakhir hayatnya. 

Dan pada tanggal, 23 s/d 27  November 1981 Tugu/Makam Raja Silahisabungan di Silalahi Nabolak diresmikan, direlif bangunan Tugu/Makam tersebut tertulis dengan jelas  bagaimana kisah perjalanan semasa hidup Raja Silahisabungan, beserta keturunannya. Sebagai penerima ilham relif tersebut Alm. Mangantar Tambunan.

Penyebaran Keturunan Raja Silahisabungan

Seperti diketahui, selain Tambun Raja tidak satu pun dari anak-anak Raja Silahisabungan yang pergi merantau karena mengingat tanah di Silalahi Nabolak masih sangat luas.  Memang masing-masing anak harus mencari istri ke luar karena larangan saling mengawini antarsatu marga.  

Loho raja langsung memperistrikan pariban atau boru tulangnya boru Padang Batang Hari dari Mballa Sikabeng-kabeng (mungkin inilah yang terdekat dengan Silalahi Nabolak). Anak-anak Raja Silahisabungan yang lain harus mencari istri dari huta lain yang kemungkinan pada saat itu memakan waktu perjalanan yang cukup lama karena ditempuh dengan berjalan kaki.

Seperti anak-anaknya, hampir semua cucu sampai ke cicit Raja Silahisabungan tidak ada yang meninggalkan huta Silalahi Nabolak walaupun sudah menikah dengan perempuan dari huta lain, kecuali satu cicit, yakni Si Raja Bunga-bunga (cucu dari Sondi Raja).  

Menurut cerita, Si Raja Bunga-bunga diculik oleh keturunan Sibagot Nipohan dan dibawa ke Balige.  Karena Si Raja Bunga-bunga diculik (ditaja) ketika sedang menggembalakan ternak di tanah penggembalaan (parmahanan), ia kemudian digelari Raja Parmahan Silalahi dan tanah penggembalaan tempat dia diculik tersebut dinamakan Simartaja (tempat penculikan).  

Sementara itu anak ketiga dari Loho Raja, yang juga cucu dari Raja Silahisabungan, yakni Turgan Raja yang pergi ke Sileuh negeri Pakpak, ke kampung pamannya (tulangnya) Padang Batang Hari.  Turgan Raja kemudian menikah dengan boru tulangnya.  

Tulangnya kemudian tidak mengizinkan Turgan Raja kembali ke Silalahi Nabolak, melainkan tetap tinggal di Sileuh.  Tulangnya berbuat demikian karena ingin menjadikan Turgan Raja sebagai tanda pengikat bahwa ada anak perempuan Raja Pakpak (Pinggan Matio boru Padang Batanghari) dan saudara perempuan Tulangnya (Ranimbani boru Padang Batanghari) yang telah dibawa dan menetap di Silalahi Nabolak.

Turgan Raja sendiri memiliki tiga anak, yakni Sambo, Maha, dan Pardosi.  Keturunan Sambo tetap memakai marga Sambo; keturunan Maha yang berada di Dairi tetap memakai marga Maha, yang ke Karo memakai marga Sembiring Maha, dan yang ke Nias memakai marga Sarumaha; sedangkan keturunan Pardosi yang merantau ke Singkil dan Kutacane memakai marga Deski dan yang merantau ke Nias memakai marga Dachi.

Cicit pertama Raja Silahisabungan yang meninggalkan Silalahi Nabolak adalah Baba Raja (cucu Loho Raja dari anaknya Borno Raja).  Seperti diketahui, anak dari Loho Raja ada tiga, yakni Borno Raja, Puran Raja, dan Turgan Raja.  

Baba Raja ini pergi ke Samosir lalu membuka sebuah kampung di sana dan diberi nama Parbaba (Kecamatan Pangururan).  Bila dihitung dari Si Raja Batak, Baba Raja merupakan generasi VIII (segenerasi dengan Raja Sisingamangaraja I).  

Mengingat larangan pernikahan semarga, hal ini membuat cicit Raja Silahisabungan yang lain harus mencari istri di luar Silalahi Nabolak.  Setelah menikah, sebagian dari cicit ini ada yang kembali ke Silalahi Nabolak, dan sebagian lagi ada yang tinggal di perantauan.  

Yang terakhir inilah yang menyebabkan keturunan Raja Silahisabungan ada yang menyebar ke Samosir, Simalungun, Balige, Angkola, Karo, Sibolga, Tapanuli Tengah, Singkil, Kutacane, dan Nias.  

Ada dua faktor penyebab yang membuat keturunan yang merantau tetap tinggal di perantauan: pertama, karena membuka kampung di tanah perantauan dan kedua, karena ikatan kekerabatan Dalihan Natolu (mendapat tanah dari mertuanya). 

Sebagai catatan, keturunan Raja Silahisabungan yang di perantauan ini kemudian ada yang menurunkan marga-marga baru, seperti Turgan di atas.  Di luar itu, sebagai misal ada juga marga Daulay di Angkola yang merupakan keturunan dari Tambunan Pagaraji. 

Keberadaan mereka sebagai bagian dari keturunan Raja Silahisabungan dapat diterima (dimasukkan) dalam silsilah dari Raja Silahisabungan karena mereka dapat menunjukkan secara akurat keturunan siapa mereka dari delapan anak Raja Silahisabungan tersebut di atas.  

Hal ini sesuai dengan pesan dari Raja Silahisabungan dalam Poda Sagu-Sagu Marlangan yang ditujukan kepada delapan anak kandung dan keturunannya.  Poda Sagu-Sagu Marlangan menunjukkan Raja Silahisabungan hanya memiliki delapan anak laki-laki yang meneruskan keturunan dan marga.

Asal-Muasal Silalahi Tolping dan Silalahi Pangururan

Sebelum kita menelusuri silsilah Silalahi Tolping dan Silalahi Pangururan, kita lebih dulu mengisahkan kembali secara lebih rinci mengenai Si Raja Bunga-bunga (yang dikenal sebagai Si Raja Parmahan Silalahi).   
Irjen Pol Purn Edison Haloho-Istri Pada Acara Penyerahan Bolahan Amak Ke Turpuk Marga Sidabariba di Silalahi Nabolak Tahun 2011.Dok Majalah Holong
Si Raja Parmahan memiliki empat anak laki-laki, yakni Sihaloho, Sinagiro, Sinabang, dan Sinabutar.  Nama keempat anak tersebut mengadopsi nama keluarga berdasarkan kekerabatannya di Silalahi Nabolak.  Pemberian keempat nama di atas menunjukkan Si Raja Parmahan tetap mengingat dan mengenang leluhur dan bona pasogitnya di Silalahi Nabolak.

Bila dilihat ke atas, nama keempat anak Si Raja Parmahan (Sihaloho, Sinagiro, Sinabang, dan Sinabutar) adalah nama ompungnya yang ada di Silalahi Nabolak.  Hal ini menunjukkan bahwa Si Raja Parmahan sudah menjelang remaja (mamboto roha) ketika dibawa ke Balige karena buktinya dia sudah mengetahui dan mengenal ompungnya yang ada di Silalahi Nabolak sebagai tanah kelahiran dan bona pasogitnya.  

Kisah keturunan dari Si Raja Parmahan diambil dari pernyataan pada waktu pesta tugu Si Raja Parmahan tahun 2008 di Balige dan dipadukan dengan tulisan Hutagalung (1991: 253-257).   Anak ketiga Si Raja Parmahan, yaitu Sinabang (generasi kelima dari Silahisabungan) memiliki tiga anak laki-laki, yaitu Raja Mual, Datu Naboratan, dan Raja Tumali.   

Datu Naboratan (generasi keenam dari Silahisabungan), adalah seorang yang memiliki jiwa pengelana dalam menimba ilmu sekaligus mengamalkannya (mangalului laos manandanghon hadatuon).  Dalam pengembaraannya Datu Naboratan mendatangi banyak kampung dan ditiap kampung yang didatanginya Datu Naboratan menikahi boru setempat sebagai bagian dari upah kebaikannya dalam membantu dan berlaku kebajikan dikampung tersebut. 

Dari yang diketahui dan saat ini sudah dicatatkan dalam daftar silsilahnya, Datu Naboratan memiliki istri dan anak sebagai berikut : Tora Panaluan dari boru Nainggolan di Nainggolan, Datu Balemun dari boru Manurung di Sibisa, Datu Ari dari boru Panjaitan di Sitorang, Toga Sampinur dari boru Simamora di Humbang, Toga Pahea, Toga Silindung, dan Toga Pansurnapitu dari boru Hasibuan di Silindung, Toga Barus dari boru Pasaribu di Barus, Toga Muara dari boru Sianturi di Muara, dan dikisahkan selanjutnya Datu Naboratan sampai ke Pangururan disana menikahi boru Simbolon dan lahirlah anaknya yang bernama Sibursok Raja. 

Datu Naboratan menetap di Pangururan hingga berusia lanjut dan membuat nama panggilannya dikenal orang-orang disana dengan nama Ompu Lahisabungan. Ompu Lahisabungan inilah yang di kemudian hari meninggal dan dimakamkan di Dolok Paromasan Pangururan. 

Dengan demikian tambak (makam) Ompu Lahisabungan yang ada di Dolok Paromasan Pangururan adalah tambak (makam) dari Datu Naboratan keturunan Si Raja Parmahan (Si Raja Bunga-bunga) cucu dari Sondi Raja (yang merupakan anak ketiga Raja Silahisabungan).  

Sibursok Raja anak dari Datu Naboratan menikahi boru simbolon putri dari paman (pariban) nya namun sekaligus juga menjalin hubungan dengan seorang perempuan lain yang hamil tanpa dinikahinya. Dari perempuan lain itu dia memiliki anak laki-laki yang diberi nama Partada, yang mana kemudian dibesarkan dan diasuh oleh neneknya (istri dari Datu Naboratan).  

Setelah Partada lahir, istri resmi Sibursok raja boru Simbolon melahirkan anak mereka yang diberi nama Pantang. Sesudah si Partada dan si Pantang dewasa mereka saling mengklaim sebagai anak tertua (sihahaan).  Partada menyebut dirinya anak pertama karena dia lebih dulu lahir, sedangkan Pantang juga menyebut dirinya anak pertama karena dia anak pertama dari ibunya yang merupakan istri sah dari bapak mereka.
 
Pertengkaran itu sampai terengar oleh ibu si Pantang yang serta merta mengatakan kepada  si Partada, “Bagaimana mungkin engkau anak pertama (buha baju ni amanta), engkau ‘kan bukan anakku!”  Sesudah mendengar kata-kata itu, Partada sakit hati dan mengatakan, “Sampai kapan pun aku tidak akan mau melihat asap rumahmu” lalu dia pergi meninggalkan Pangururan. Setelah pertengkaran di atas, Partada kemudian pergi ke Tolping Ambarita.  Ia menetap dan dimakamkan di sana.  

Partada memiliki keturunan dan memakai marga Silalahi.  Sementara itu, Pantang tetap di Pangururan dan dimakamkan di sana.  Seperti Partada, keturunan Pantang pun memakai marga Silalahi.  Itu berarti, Partada (Silalahi Tolping) dan Pantang (Silalahi Pangururan) jelas merupakan keturunan dari Sinabang (anak dari Si Raja Parmahan).  Seperti diketahui Si Raja Parmahan adalah cucu dari Sondi Raja.  Dengan kata lain, Silalahi Tolping dan Silalahi Pangururan adalah Silalahi Sondi Raja (sama dengan Silalahi Raja Parmahan yang ada di Balige). 

Di dia pe hami maringanan di luat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) gabe pasu-pasu jala marimpola ma hamu tu dongan mu jolma, marhitei-hitei tangiang dohot ulaon mu napajolohon hamoraon, hagabeon dohot hasangapon di huta I, Alana hope dibagasando. (MH-Penulis Adalah Ketua Punguan Parsadaan Pomparan Raja Silahisabungan Se Dunia)


DAFTAR PUSTAKA
-Hutagalung, W. M.  1991.  Pustaha Batak: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak.  Pangururan: C.V. Tulus Jaya.
-Siagian, Robinson Togap.  1992.  Peranan Organisasi Marga dalam Kegiatan Adat dan Pembangunan.  Jakarta: Yayasan Dinamika Pers bekerjasama Badan Pengurus Persatuan Marga-Marga.
-Simanjuntak, Batara Sangti.  1977.  Sejarah Batak.  Balige: Karl Sianipar Company.
-Sinaga, Richard.  2006.  Kamus Batak Toba-Indonesia.  Jakarta: Dian Utama.




Berita Lainnya

Posting Komentar

0 Komentar