Berita Terkini

10/recent/ticker-posts

Cerita * T A L A M * dan Perut Bergoncang Menuju Haranggaol

Oleh: Anita Martha Hutagalung
Inang Anita Martha Hutagalung (tengah) saat ikut makan bersama dalam "Talam" di Desa Purba Saribu (Haranggaol), Kabupaten Simalungun.IST-FB

MHO, Medan-Semalam, malam malam aku di telepon Pdt Mikhael Sipayung mengarahkan untuk ikut melayat, atas berpulangnya ibu mertua dari St Warman Girsang- Pengantar Jemaat GKPS Stabat.

Hmm..Padahal badanku masih pegel (5 hari melalak). Koper yang berisi pakaian kotor aja belum sempat dibuka. Rumah dan halaman masih berantakan.

Tapi karena aku kenal baik dengan keluarga yang berduka. Maka aku iyakan saja, untuk ikut rombongan ke Purba Saribu Haranggaol, Kabupaten Simalungun.

Kalau tadi pesta kawin, aku bisa aja tidak hadir karena jauh, dan cuma nitip amplop. Dan masih ada kemungkinan untuk hadir di pesta pesta berikutnya. Tapi karena orang mati cuma sekali, maka aku memilih hadir menyampaikan ikut berduka.

Sepakat tadi pagi kami berangkat pagi pagi sekali. Perjalanan lancar. Di mobil , teman-temanku ngobrol asik membahas apa saja.
Akupun tak ngerti kali apa cerita mereka, karena aku sendiri asik pula chatingan 🙁

Sampai akhirnya aku merasakan guncangan guncangan halus. Kemudian semakin keras..Adduh... Macam naik kuda rasanya, bisa pulak awak terbanting-banting. Akibat jalannya yang hancur, rusak, berair, berlubang besar. Serasa mau keluar isi perutku.

Hazab kali jalan menuju Haranggaol ini. Padahal pemandangan sepanjang jalan kesana canteknya bukan main. Tiba di lokasi sudah ramai orang. Ada sekitar seribuan orang. Aku melihat banyak sekali anak balita.

Ke arah manapun mataku memandang, pasti ada anak anak balita. Aku sudah melalak kemana-mana tempat. Tapi baru kali ini aku melihat anak balita lebih dari 100 anak. Di keramaian acara pesta adat sayur matua. Usia anak anak yang rame itu rata rata 2 - 3 tahun. Aku menghitung-hitung dalam hati.

Berarti kalau aku ada di acara seperti ini 2 atau 3 tahun yang lalu. Maka pemandangannya bukan banyak anak anak balita. Tapi banyak perempun hamil , kemana arah mata memandang, pasti ada orang hamil. 😊

Meskipun rombongan kami sudah tiba dilokasi. Bukan berarti kami bisa langsung buat acara. Kami harus mengikuti acara yang sudah disusun sebelumnya. Jadi kami harus tunggu giliran.

Dalam situasi menunggu itu, Aku amati orang orang disekelilingku.
Hampir semua perempuannya tua-muda memakan sirih. Dengan tembakau yang diputar putar dibibirnya. Yang membuatku takjub,
Itu tembakau bisa sampai sebesar telur bebek.

Dan aku tau (dari cara mereka memandangku) mereka juga mengamati aku. Dengan bulang silappei dikepalaku, aku memang selalu jadi sorotan.

Ada yang memandang takjub, aneh, suka, sebel, bahkan yg naksir juga banyak 😜. Tiba-tiba ada yang menyapa dan mengajak photo. Ternyata teman Facebook yang baru pertama kami ketemu Delpina Purba dan adiknya. Senang rasanya bisa bertemu di alam nyata.

Lalu ada seorang laki laki yang datang dan dengan pede-nya minta berpoto berdua denganku. Katanya dia suka karena aku mau memakai bulang silappei. 

Karena orang lagi ramai, aku iyakan saja. Maksudku biar cepat selesai. Lalu aku berdiri disebelah kirinya. Tapi dia pindah ke sebelah kiriku. Katanya aku tidak boleh berpoto disebelah kirinya. Nanti dikira orang dia suamiku.

Jadi aku harus berdiri di sebelah kanannya. Hadeeeh...Ribet amat nih laki laki, pengen aja gw toyorkan. Apa pulak pengaruhnya aku berdiri di sebelah kiri atau kanan seorang laki-laki?

Cepat-cepat aku selesaikan permintaannya. Dan aku tak meladeni lagi pertanyaan2nya. Lalu duduk kembali dekat rombonganku. Entah karena penasaran atau apa. Dia tanya-tanya lagi tentang aku pada Relly Girsang teman kami.

"Kakak melulu yang ditanya-tanya nya sama aku, trus dibujuk bujuknya aku minta nomer HP kakak, ya gk berani aku ngasinya, nanti kakak marah pulak sama aku" kata Relly mengadu padaku.

Pendetaku dan kawan kawan pada ketawa-ketawa jadinya. Jadi pada ngeledekin aku. Haddeh...untung protokol terdengar mengumumkan saatnya makan siang bersama.

Lalu menginstruksikan, agar membentuk kelompok terdiri dari 5 orang. Lalu orang orang di gedung tersebut dengan patuh mengikuti arahan protokol.

Aku yang terheran heran pun ikut-ikutan patuh. Lalu, setiap kelompok di bagi "Talam" (Sejenis Piring Ukuran Lingkaran Besar dan Biasa Digunakan Masyarakat Setempat Saat Makan Bersama di Pesta-Pesta Adat) gede, yang berisi nasi dan daging sebagai lauknya. Aku jadi ketawa ketawa geli. Aduuuh...Makan setalam rame rame , nengok bentuknya saja aku sudah hilang selera.

Sedangkan makan restoran mewah aja, tidak bisa dengan serta merta menggugah seleraku. Apalagi di suasana yang begitu ramai
Makannya rame rame pulak. Tapi karena tak ada pilihan makanan yang lain.

Terpaksalah awak makan juga. Nasinya terasa hangat saat kusentuh. Lalu saat suapan pertama menyentuh lidah dan aku mengunyah lamat lamat.

Hmm....Kok rasanya enak ya..? Ku suap lagi, ya terasa enak juga 😀. Mungkin karena memasaknya rame rame (gotong-royong) bumbunya itu pas, trus masaknya pakai kayu bakar.
 
Entahlah..Pokoknya enak aja kurasa. Jadi ingat kalimat ini. Jangan pandang rupanya, tapi nikmati rasanya. Hahaha kecilek aku.
Selesai makan siang. Giliran kami menyampaikan kata-kata penghiburan dan rasa turut berduka cita.

Aku senang Pendeta kami tidak berpanjang panjang kata. Singkat dan tepat. Lalu kami permisi pulang. Sudah puluhan kali aku menghadiri acara adat sayur matua seperti ini. Selalu saja ada cerita tersendiri. Tidak ada cerita yang sama. Tapi bukan karena itu, aku selalu berusaha hadir pada acara duka begini.
 
Aku ingin kehadiranku menjadi penyemangat bagi saudaraku. Bahwa bukan hanya dia yang merasakan duka cita. Menurutku jauh lebih baik memberi dari pada menerima. Jauh lebih baik membezuk daripada dibesuk. Jauh lebih baik melayat, daripada kita yang dilayat orang. Jauh lebih baik tidur dari pada begadang. *Tidurlah aku ya. Nite. 

(Penulis Adalah Penggiat Opini Sosial Media-Tinggal di Medan, Sumatera Utara-FB) 


Anita Martha Hutagalung Selvie.FB


Makan Bersama Dalam "TALAM" Tradisi dan Filosopi Kebersamaan Masyarakat Simalungun di Desa Purba Saribu (Haranggaol) yang hingga kini masih diabadikan. FB
 

Berita Lainnya

Posting Komentar

0 Komentar