Berita Terkini

10/recent/ticker-posts

Dan Kita Harus Bertarung Kembali Untuk Indonesia Kita


Oleh: Birgaldo Sinaga

Jakarta, MH-Dalam kerumunan kekuasaan politik banyak sekali pihak yang terlibat di dalamnya. Para pihak ini adalah orang atau kelompok yang berkepentingan dengan kekuasaan. Kekuasaan untuk menguasai jalur sumber daya dengan menempatkan orangnya atau mempengaruhi orang tersebut ketika berkuasa.

Saya masih ingat ketika Pilpres 2014 ada dua kubu dalam satu organ relawan yang berseberangan dalam menyikapi siapa cawapres Jokowi kala itu. Kubu pertama menerima siapapun cawapres pilihan Jokowi. Kubu kedua mengendorse Mahfud MD. Terjadi tarik menarik dalam pertarungan penggiringan di internal organ relawan itu.

Dalam pusaran permainan politik pilpres kali ini, apa yang terjadi pada pilpres 2014 terulang kembali. De ja vu. Munculnya nama Mahfud MD dan Moeldoko juga disertai dengan dengungan para organ relawan yang secara eksplisit dan implisit berkumandang. Jika tokoh yang diajukannya dipilih Jokowi maka akses dan jalur kekuasaan bakal dinikmati.

Pertarungan perebutan cawapres di kubu Jokowi itu sangat alot dan mendebarkan. Penuh intrik dan ancam mengancam. Operasi senyap lobby melobby menggunakan jalur kedekatan dengan Jokowi terus diperjuangkan. Ini kerja besar yang tidak tampak dipermukaan. Tapi dilingkaran elit parpol dan relawan sudah kasat mata dan terasa.

Sore hari kemarin, sekitar Pukul 16.00 Wib, nama MMD masih moncer sebagai nama bakal cawapres Jokowi. Rekan saya KH Akhmad Sahal mengirim foto dirinya dan MMD sedang duduk santai sambil menunggu pidato pengumuman cawapres Jokowi.

Raja Juli Antoni juga mengirim foto selfie bersama MMD dalam kendaraan bersiap meluncur ke tempat pengumuman cawapres Jokowi. Media mainstream terus menyiarkan nama MMD sebagai bakal cawapres Jokowi.

Di saat lain, sekelompok relawan sudah pasang kuda-kuda di Tugu Proklamasi menyambut pengumuman nama cawapres MMD. Ada pergerakan di Tugu Proklamasi. Jika nama MMD diumumkan sorak sorai penyambutan bakal dirayakan di Tuprok. Prok.. Prok.. Prok.

Sayangnya pesta itu tidak terjadi. Tetiba pergeseran lempengan politik bergerak cepat. Informasi MMD adalah sosok tokoh cawapres bawaan relawan Projo santer terdengar di kuping elite parpol.

Bagi elite parpol, jika cawapres MMD dipilih Jokowi tentu ini tidak baik bagi gerak alami poros kekuasaan nantinya. Akan ada jalur dan akses sekelompok relawan ini menguasai langsung ke MMD. Ini biasa dalam politik. Dan ini tidak sehat buat parpol ke depannya.

Elit Golkar, PKB dan PPP mencium aroma endorsement MMD ini. Laporan di meja Jokowi segera masuk. Ketiga parpol ini sepakat akan keluar dari koalisi jika nama MMD yang diumumkan. Akan terbentuk poros ketiga melawan Jokowi.

Jika poros ketiga terbentuk, badai tornado bisa terjadi. Demokrat bakal ketiban durian runtuh. Bayangkan jika Golkar, PKB dan PPP bergabung dengan Demokrat membentuk poros Gatot Nurmantyo dan AHY ini bakal jadi badai tornado yang mudah menggoyang kekuatan Jokowi.

Poros ketiga Gatot Nurmantyo AHY ini akan menjadi pusat gravitasi politik anti Jokowi yang selama ini dikelola dengan militan oleh tagar ganti presiden. Siapa yang tidak tahu Gatot Nurmantyo identik dengan kelompok 212?

Jokowi berada pada dilema. Mengambil MMD sama saja membiarkan bola panas menjadi liar tak terkendali. Mengganti MMD dengan tokoh NU berumur sepuh bakal juga menimbulkan suara tidak sedap dari pendukungnya yang dominan pro MMD.

Waktu berjalan cepat. Pilihan harus diambil. Membiarkan isu ini bergerak liar akan menimbulkan ketidakpastian. Kubu anti Jokowi bisa memframing negatif ketidakpastian cawapres Jokowi ini. Disinilah kecerdikan Jokowi terlihat.

Sama seperti ketika Jokowi menari di atas nama Budi Gunawan sebagai calon Kapolri yang diendorse Megawati Soekarbo Putri. Kita tahu polemik pemilihan Kapolri saat itu begitu dramatis dan menegangkan. Dan Jokowi berhasil menuntaskan drama itu dengan happy ending.

Kepiawaian Jokowi diuji. Pada hitungan jam keputusan harus dibuat. Tidak ada waktu lagi. Lalu siapa nama pengganti MMD ini?

Jrenggg... Ketua MUI sekaligus Rais Am NU KH Maruf Amin dipilih Jokowi. Nama KMA ini sontak membuat dunia persilatan geger. Ada yang geger otak, geger perasaan dan juga geger kegembiraan.

Prediksi dari kelompok pro Jokowi dan anti Jokowi banyak yang terpeleset. Kelompok relawan Projo yang sudah berkumpul di Tuprok berkemas-kemas pulang. Pulang membawa angin karena cawapres endorsementnya gagal menjadi pendamping Jokowi.

Pilihan Jokowi ini bagi banyak kalangan menimbulkan ketidaksukaan. Terutama bagi Ahoker. Belum kering lagi tinta tanda tangan KMA yang memfatwa Ahok sebagai penista agama pada November 2016 lalu.

Belum hilang gema kesaksian memberatkan KMA dipersidangan Ahok pada Februari 2017 lalu. Lalu tetiba KMA diangkat Jokowi sohib Ahok sebagai orang nomor dua di republik ini. Ini bagai palu godam menghantam ulu hati Ahoker. Sakit dan menyesakkan.

Saya tidak punya urusan langsung dengan MMD seperti kelompok relawan yang bersiap menyambut MMD di Tugu Proklamasi itu. Saya tidak pernah bertemu MMD seperti teman2 saya di relawan Projo.

Terus terang dan harus jujur saya akui, pilihan Jokowi kepada KMA membuat pandangan saya koaong. Saya terdiam. Koq beliau sih? Apa tidak ada tokoh lain selain KMA?

Tentu saya punya alasan rasional dan emosional menyikapi pilihan Jokowi ini. Bagaimanapun Wapres adalah orang nomor dua yang dalam konstitusi bisa menjadi orang nomor satu jika Jokowi berhalangan tetap.

Secara sadar saya tidak yakin KMA mampu secara leadership, manajerial dan karakter mampu memimpin negara sebesar ini dengan kompleksitas masalah begitu banyak.

Saya ekspresikan pikiran saya dalam beberapa postingan. Saya sadar ekspresi kemerdekaan berpikir rasionalitas saya harus saya ekspresikan dengan sebaik2nya.

Ini bukan soal sentimentil. Ini bukan soal baper nostalgia kisah lama yang penuh luka. Ini soal keteguhan akal sehat dan nurani saya tentang sosok leader dan nilai kepemimpinan.

Pada diri KMA saya merasa Ia gagal ketika tidak memberi tabayun pada Ahok untuk menjelaskan pidatonya di Kepulauan Seribu. KMA tidak berlaku adil sejak dalam pikiran. Ia partisan, padahal KMA adalah ketua ulamanya Se Indonesia. Ingat Indonesia. Sesederhana itu sebenarnya kacamata saya melihat nilai kepemimpinan.

Jokowi sudah membuat keputusan. Suka tidak suka mau tidak mau pilihan Jokowi memberi banyak pergeseran di lapisan elit politik dan lapisan pendukung Jokowi. Di tataran elit politik nama KMA adalah obat pemersatu. Semua parpol pendukung menerima KMA dengan legowo.

Bagaimanapun pertarungan hari ini berkorelasi pada perebutan kekuasaan pada 2024. KMA diibaratkan sebagai pengisi kekosongan posisi cawapres yang diikhlaskan oleh para elit parpol pendukung. Mungkin PKB yang genetikanya NU lebih diuntungkan dengan KMA.

Di kamar lain, cawapres Jokowi ini kontan membuat kubu lawan mati gaya. Seketika Demokrat terkunci. Andi Arief petinggi Demokrat mencak2. Makian Jenderal Kardus kepada Prabowo ditembakkan Andi.

Poros Gerindra, PAN dan PKS kehabisan manuver. Waktu hampir habis. Pilihan tinggal satu. Take Prabowo Sandi or leave it. Isu 500 M uang muka kepada PAN dan PKS dilempar Andi Arief. Brakkk...

Konstelasi politik nasional pasca nama KMA dipilih Jokowi menimbulkan pergeseran. Akar rumput PKS, HTI, PAN dan Gerindra nampak kebingungan. Jargon anti ulama yang selama ini dilengketkan ke Jokowi mendadak hilang.

Malahan Prabowo yang digadang-gadang pro ulama kehilangan daya pro ulamanya. Mengangkat Sandi otomatis memateraikan bahwa Prabowo lebih peduli cash daripada memperjuangkan umat melalui ulama.

Pertarungan Jokowi KMA vs Prabowo Sandi bakal menarik dan bergaya baru. Siapa sangka formasi Jokowi ternyata berpasangan dengan ulama? Sementara Prabowo berpasangan dengan pedagang?

Dalam pertarungan perebutan RI1 dan RI2 ini membiarkan Jokowi sendirian adalah keliru. Saya kecewa dengan pilihan Jokowi. Tapi saya juga faham bahwa itu diluar kuasa Jokowi.

Membiarkan Jokowi bertarung sendirian melawan PKS, Gerindra dan PAN Demokrat yang terkenal dengan permainan isu SARA seperti pilpres 2014 dan Pilkada DKI 2017 lalu adalah pengkhiatan pada janji kita sebagai anak bangsa yang mencintai kebhinekaan, Pancasila, NKRI dan konstitusi.

Saatnya kita yang mencintai negeri ini harus turun gunung bertarung kembali meski dada kita sesak melangkah. Ini bukan soal Jokowi KMA, tapi ini soal menjaga rumah kita dari orang yang berpeluang meruntuhkan rumah kita. Salam perjuangan penuh cinta. Birgaldo Sinaga. (*)

Berita Lainnya

Posting Komentar

0 Komentar