Berita Terkini

10/recent/ticker-posts

Mengenal Butet Manurung Perempuan Hebat Yang Rela Meninggalkan Ibu Kota Demi Sokola Rimba

Saur Marlina Manurung sapaan akrabnya Butet Manurung.

Jambi, MH - Saur Marlina Manurung wanita berdarah Batak kelahiran Jakarta lulusan SMA N 14 Jakarta adalah merupakan  sosok di balik berdirinya Sokola Rimba. Sekolah yang mengajarkan baca - tulis bagi anak - anak Suku Anak Dalam (SAD) di kawasan konservasi Taman Nasional Bukit Duabelas atau TNBD Jambi.

Saur Marlina Manurung atau sapaan akrabnya Butet Manurung merupakan  alumni Universitas Padjajaran Bandung Jawa Barat jurusan Antropologi.  Butet Manurung bekerja di Warung Informasi Konservasi atau WARSI, sebuah LSM yang berkonsentrasi terhadap isu konservasi hutan di Sumatra, pada tahun 1999.

Selanjutnya Butet Manurung menyelesaikan pendidikan  di Australian National University  Master of Applied Antrhropology and Participatory Development pada tahun 2012. Ia juga mengikuti kursus Global Leadership and Public Policy di Harvard Kennedy School, Universitas Harvard, Amerika Serikat.

Butet Manurung sedang mengajar Suku Anak Dalam (SAD).

Perjuangan Butet Manurung untuk mendirikan Sokola Rimba ini bukanlah sebuah perkara mudah. Bertahun - tahun masuk - keluar hutan dan ditolak mentah - mentah oleh orang Suku Anak Dalam, karena ketakukan pendidikan akan mengubah adat istiadat mereka. Namun, hal ini bukan menjadi halangan baginya untuk tetap berjuang dan berbagi tentang pentingnya pendidikan.

Suatu saat perjalanan alam membawanya ke sana dan konon orang Kubu (sebutan untuk suku Rimba atau Suku Anak Dalam) dikenal sebagai suku yang bodoh, miskin dan primitif. Seketika itu Butet terdiam dan merenung, ia harus melakukan sesuatu. Itulah awal niatannya membuat sekolah alam dan mengajarkan mereka banyak hal.

Tak seperti gadis kota biasanya, Butet Manurung adalah merupakan seorang pecinta alam yang tangguh dan tidak manja. Puncak Trikora, Gua Wikeda di Wamena, G ua Maros, Annapuna Range Himalaya, Ujungkulon, Banten, Timor, hingga NTT pernah ia sambangi.

Butet Manurung dengan penuh sabar mengajar Suku Anak Dalam (SAD).

Butet tidak mengajar di dalam ruangan ber- AC seperti guru - guru lainnya, dengan meja dan kursi nyaman yang lengkap atau di depan komputer berteknologi tinggi yang siap dihubungkan dengan koneksi internet. 

Ia hanya duduk di atas batang pohon yang sudah tumbang atau di atas bebatuan hitam legam yang nyaman bak pualam, dengan semilir dan kesegaran dari alam. Tak ada AC di sana, tak ada meja dari kayu, kursi yang nyaman, dan tak ada teknologi internet. Ia mengajar dengan bekal beberapa buku sederhana yang mungkin sudah dibuang dan dikilokan di kota. 

Sudah mendapat tempat mengajar yang tak nyaman, kebaikan hati Butetpun tidak  diterima Suku Anak Dalam tersebut. Butet Manurung, pernah sempat merasakan putus asa, karena penolakan yang ditunjukkan suku Rimba kepadanya. Mereka adalah orang - orang primitif yang masih percaya pada adat dan budaya. 

Sehingga mereka tak mau terbuka pada pendidikan, yang mereka anggap menyalahi adat dan budaya. Bahkan terlebih mereka takut bahwa mereka akan ditipu lagi seperti biasanya.

Butet Manurung dengan penuh sabar mengajar Suku Anak Dalam (SAD).

Hal ini merupakan ujian terberat bagi Butet pada awal ia berusaha mengenalkan pendidikan pada orang Kubu. Namun kemudian Butet sadar, bahwa mungkin caranya terlalu memaksa dan salah. Suku Anak Dalam butuh diyakinkan, bukan dipaksa


Mereka hanya takut dan belum mengerti, bukan berarti mereka bodoh dan tidak mau. Mereka hanya butuh kepastian bahwa apa yang akan mereka terima itu baik, itu saja. Sejak saat itu Butet mulai belajar dan mengenal kebiasaan Suku Rimba, ia rajin mengamati dan mengikuti keseharian mereka. 

Ia tinggal bersama mereka, tidur di tempat yang sama, makan apa yang mereka makan, bertelanjang kaki dan merasakan gelinya lumpur serta tanah yang menempel di telapak kaki, mengenakan kemben sederhana yang mungkin membuat tubuh menggigil kedinginan. 

Butet mencoba memahami dan merasakan bagaimana sih menjadi bagian Suku Rimba itu. Butet sangat kagum pada mereka yang mampu menyusuri sungai dan hutan tanpa tersesat, ia kagum pada anak - anak yang tangkas memanjat pohon tanpa rasa takut akan jatuh, ia kagum pada keramahan alam yang seolah membuai para penduduk dan menjaga mereka dengan baik.

Butet Manurung.

Masuk dalam kehidupan Suku Rimba tentu bukan sesuatu yang mudah baginya. Hidup di alam tentunya tak akan semanja di kota, yang walaupun macet, masih ada tempat tidur dan kasur empuk menanti. 

Di alam, ia tidur di atas akar, menyusuri rawa atau sungai yang kemudian membuatnya ketakutan akan lintah yang menempel di tubuhnya, ia takut akan harimau yang sewaktu - waktu menerkamnya, juga akan kegelapan dan kesunyian danau yang di malam hari bagaikan sebuah scene film horor. Butet juga takut, namun ia berhasil mengatasi rasa takutnya. Ia tidak menyerah, tapi ia terus berusaha.

Dalam mengajar, Butet tidak tinggal menetap di satu daerah saja, ia berpindah - pindah dari desa satu ke desa lain dengan mengajarkan hal yang sama, mulai dari membaca, menulis, menjelaskan persoalan hukum terutama pembalakan liar agar mereka tak ditipu lagi dan mengajarkan mereka bagaimana cara membela dan mempertahankan tanah serta hasil alam mereka. 

Butet Manurung bersama Suku Anak Dalam (SAD).

Jika dulu mereka hanya diam dan hanya bisa melarang para pembalak liar, kini mereka memperingatkan pembalak liar dengan hukum dan sudah tahu harus melapor ke mana jika terjadi tindak kriminal. Mereka bukan orang yang bodoh, mereka benar - benar belajar sungguh - sungguh dan mereka belajar dengan cepat.

Empat tahun lamanya ia menyusuri pedalaman rimba, ia keluar dan kembali ke Ibu Kota DKI Jakarta dengan senyum dan kebanggaan. Ia pun menjadi inspirasi beberapa relawan yang akhirnya bergabung dalam yayasannya dan hingga kini ia masih meneruskan perjuangannya. 

Ia tak pernah lupa bagaimana beruang membuatnya ketakutan, bagaimana mimpi buruk menghantuinya, bagaimana jantungnya berdegup kencang setiap malam karena takut ada hewan buas menyerangnya. 

Ketika Presiden RI Joko Widodo mengunjungi lokasi Suku Anak Dalam (SAD).

Namun ia tak ingin berhenti mewujudkan impiannya, bukan lintah, beruang, harimau atau ular yang akan menghentikan impiannya, bahkan bukan juga kematian. "Gak keren mati tidak ada yang mengenang," ungkap Butet  sepenggal semangat. 

Butet yang patut kita tiru dan jadikan teladan. Sematkan semangat Butet ini di setiap usaha untuk  menggapai impian, bukan demi materi atau demi penghargaan semata, namun karya di dalam hidup adalah harta yang paling berharga.

Berkat kegigihannya Butet Manurung, menuai prestasi yang luar biasa, sejumlah penghargaan Internasional berhasil diperolehnya antara lain, Man and Biosfer Award 2001, Woman of the Year bidang pendidikan AnTV 2004.

Butet Manurung penuh kesabaran mengajari Suku Anak Dalam (SAD).

Selanjutnya Hero of Asia Award by Time Magazine 2004, Kartini Indonesia Award 2005 dan Ashoka Award 2005, Ashoka Fellow 2006 dan Young Global Leader Honorees 2009. 

Wanita yang aktif mengelola yayasan SOKOLA, yang didirikan pada tahun 2003 itu memang pantas menyandang semua penghargaan yang diterimanya. Pasalnya Butet Manurung adalah wanita pejuang yang memang benar - benar berusaha mewujudkan impiannya.

Disamping itu Butet Manurung tulus menjalani profesinya sebagai seorang Pahlawan Tanpa Jasa  di hutan pedalaman, di tempat di mana orang - orang yang tinggal dipandang sebelah mata dan seringkali dianggap sebagai orang yang bodoh dan tak berpendidikan. (Berbagai Sumber, MH - Fendi Sinabutar).

Berita Lainnya

Posting Komentar

0 Komentar