Berita Terkini

10/recent/ticker-posts

Mengenang TB Simatupang Panglima TNI Di Usia 30 Tahun Dan Berani Menentang Presiden RI Soekarno

Jenderal DR TB Simatupang.

JAMBI, MH - Sosok Panglima TNI di usia 30 tahun, namun tersingkirkan usai berani menentang Presiden RI SoekarnoTB Simatupang tercatat dalam sejarah sebagai pemimpin militer Indonesia yang sangat muda.

Tahi Bonar Simatupang atau biasa dikenal dengan sebutan TB Simatupang. Sayang, karier jenderal muda asal Provinsi Sumatra Utara (Sumut) itu harus berakhir karena menentang kebijakan Presiden  Soekarno. TB Simatupang pun meninggalkan militer di usia yang masih sangat muda 39 tahun.


Di masanya, TB Simatupang termasuk the rising star militer. Kariernya melesat dengan cepat. Di usia 30 tahun, dia sudah menduduki jabatan Kepala Staf Angkatan Perang RI (KSAP) dengan pangkat Mayor Jenderal.


Dalam hierarki organisasi militer saat itu, jabatan KSAP berada di atas Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, Kepala Staf Angkatan Udara. KSAP berada di bawah tanggung jawab Menteri Pertahanan. Di masa kini, jabatan KSAP merupakan Panglima TNI.


Namun, karier cemerlang itu pupus setelah TB Simatupang terlibat "konflik" dengan Presiden Soekarno. Konflik itu pula yang membuat pria kelahiran Sidikalang Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara (Sumut) tersebut merelakan karier militernya.


Belakangan, pemerintah akhirnya menghargai jasa Jenderal TB Simatupang. Ia dianugerahkan Pahlawan Nasional Indonesia. Nama TB Simatupang pun diabadikan sebagai nama ruas jalan di beberapa daerah. Wajahnya pernah diabadikan pada pecahan uang logam pecahan Rp 500 pada tanggal 16 Desember 2016.


TB Simatupang lahir pada 28 Januari 1920 di Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumut. Ia merupakan anak kedua dari delapan bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai pegawai kantor pos dan telegraf (PTT: Post, Telefoon en Telegraaf) yang sering berpindah tempat tugas, mulai dari Sidikalang pindah ke Siborong - borong, kemudian ke Pematangsiantar.


Ia mengenyam pendidikan di HIS Pematangsiantar dan lulus pada 1934, dan melanjutkan sekolah di MULO Dr Nomensen di Tarutung pada 1937. Sosok yang akrab disapa Sim ini merantau ke Jakarta pada usia 17 tahun. 


Tujuan dia ke Ibu Kota karena ingin melanjutkan pendidikan di institusi binaan Belanda. Ia masuk AMS di Salemba, Jakarta dan selesai pada tahun 1940. Saat bersekolah di Batavia, TB Simatupang terbilang siswa yang pintar, termasuk fasih berbahasa Belanda.


Di masa pergolakan tahun 1941, TB Simatupang yang masih berumur 22 tahun, masuk Akademi Militer Belanda yang berlokasi di Bandung, Jawa Barat. Saat itulah jiwa tempurnya diasah. Apalagi, ia memiliki rekan - rekan yang menjadi perwira di Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL).


TB Simatupang lulus KMA pada tahun 1942. Bukan sekadar lulus, ia tercatat sebagai lulusan terbaik dan mendapatkan mahkota perak atas prestasinya di bidang teori. Rekan seangkatannya di KMA antara lain AH Nasution dan Alex Kawilarang.


Pada masa itu, TB Simatupang sudah membaca dan mendalami buku "Tentang Perang" karya Carl von Clausewitz. Dalam pertemuan alumni, biasanya dia yang paling banyak bicara dan memberikan analisis - analisis. Bahkan menurut Alex Kawilarang, seandainya TB Simatupang orang Belanda, dia pasti akan mendapatkan mahkota emas.


Namun, setelah lulus dari KMA, Jepang berhasil merebut kekuasaan di Hindia Belanda. Alhasil, KNIL pun dibubarkan. TB Simatupang dan beberapa temannya direkrut Jepang dan ditempatkan di Resimen Pertama di Jakarta dengan pangkat Calon Perwira.


Beberapa tahun berselang, Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaan. Hal ini membuat TB Simatupang menjadi bagian dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Ia ikut dalam perang kemerdekaan, ketika Belanda ingin kembali menguasai Indonesia.


TB Simatupang tidak memfokuskan kemampuan fisik selama berperang. Melainkan tentang strategi dan taktik di medan perang.


Atas kelihaiannya, putra dari Sutan Mangaraja Soaduan Simatupang dan Mina Boru Sibutar ini pun dipercaya sebagai Kepala Organisasi Markas Besar TKR. Tugas itu diberikan langsung oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo.


TB Simatupang dikenal sangat pintar bertempur, sehingga wajar saat kariernya di militer melesat begitu cepat. Dalam tempo singkat, ia diberi kepercayaan mengemban jabatan Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Sedangkan Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) ketika itu adalah Jenderal Besar Sudirman.


Intelektualitas dan pengalaman gerilya bersama Jenderal Besar Sudirman menjadi bekal yang cukup baginya untuk berpartisipasi dalam upaya diplomasi saat Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, pada tahun 1949.


Karier TB Simatupang terus bersinar. Setelah Jenderal Besar Sudirman Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) meninggal dunia tahun 1950, TB Simatupang diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Perang dengan pangkat Mayor Jenderal. Saat itu umurnya baru 30 tahun.


Namun, ketika itu terjadi pergolakan di internal Angkatan Darat. Kolonel Bambang Supeno yang merupakan komandan institusi pelatihan perwira militer Candradimuka, mendekati Presiden Soekarno untuk membujuknya agar mendepak Kolonel AH Nasution dari posisinya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). 


Alasannya, banyak perwira kurang berkenan dengan AH Nasution yang tengah berupaya meningkatkan kualitas tentara. Presiden Soekarno setuju dengan memberikan syarat para Pangdam sependapat dan memberikan tanda tangan. 


Syarat itu bisa dipenuhi oleh Kolonel Bambang Supeno. Kabar itu pun sampai ke telinga TB Simatupang. Ia tak terima dan langsung menemui Presiden Soekarno di Istana Negara. Pertemuan saat itu dihadiri Menteri Pertahanan Sri Sultan HB, AH Nasution dan Alex Kawilarang.


Ketika itu, AH Nasution menyatakan siap dicopot demi keutuhan Angkatan Darat. Namun, tak demikian pemikiran TB Simatupang. Tanpa tedeng aling, ia menyatakan keberatan atas rencana pergantian AH Nasution atas dasar pengaduan Bambang Supeno. 


TB Simatupang menganggap tindakan seperti itu merupakan preseden buruk dan bisa menimbulkan situasi yang berbahaya di masa depan dalam organisasi militer. Modus atau cara demikian juga bisa dicontoh oleh pejabat militer lain yang ingin mengamankan posisinya dengan mendekati Presiden Soekarno. 


Pada saat yang sama, apabila ada panglima - panglima divisi yang tidak menyukai seorang pimpinan, mereka bisa mengumpulkan tanda tangan, lalu meminta Presiden Soekarno untuk mencopot orang tersebut.


Namun, Presiden Soekarno bergeming. Ia tetap melaksanakan rencana pergantian AH Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), dengan dasar adanya tanda tangan para panglima divisi.


Ketika itulah, TB Simatupang sangat marah kepada Presiden Soekarno, ia secara tegas menyatakan selama dirinya menjabat KSAP, dia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.


Presiden Soekarno juga marah atas penolakan TB Simatupang terkait rencana mengganti AH Nasution sesuai permintaan Bambang Supeno. Bahkan, keduanya tidak berjabat tangan lagi seusai pertemuan tersebut.


Konon, saat itu TB Simatupang yang sedang diliputi rasa amarah menutup pintu dengan keras. Braakkk!!!, cekcok ini kian bergolak. Presiden Soekarno mengambil kebijakan menghapus jabatan KSAP pada tahun 1953.


Kebijakan menghapus Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP)  dinilai untuk melucuti pengaruh TB Simatupang. Dampaknya, TB Simatupang menjadi jenderal tanpa jabatan. Ia hanya ditugaskan sebagai Penasihat Militer di Departemen Pertahanan RI.


TB Simatupang sempat dua kali ditawarkan untuk menjadi duta besar. Namun, dia menolak karena tawaran itu tak lebih sebagai bentuk pengasingan bagi dirinya. Konon jabatan duta besar memang menjadi tempat bagi pejabat yang hendak "disingkirkan".


Dia pun menyadari waktunya di militer telah berakhir. Setelah tujuh tahun menjadi penasihat di Kementerian Pertahanan, TB Simatupang dipensiunkan di usia yang masih cukup muda 39 tahun. Ia keluar dari militer dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal (Letjen).


TB Simatupang kemudian mendedikasikan hidupnya untuk pelayanan agama. Selain berceramah di gereja - gereja, ia pun menulis sejumlah buku tentang Kristen. Tulisan - tulisannya juga dimuat di surat kabar Suara Pembaruan. Hingga akhir hayatnya, TB Simatupang melayani lewat jalan agama.


Ia pernah menjabat sebagai Ketua Persekutuan Gereja - Gereja di Indonesia (PGI), Ketua Majelis Pertimbangan PGI, Ketua Dewan Gereja - Gereja Asia, Ketua Dewan Gereja - Gereja se Dunia. Dia juga pernah menjadi Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan Ketua Yayasan Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM).


Sosok TB Simatupang yang gemar membaca buku ini, akhirnya dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Tulsa, Oklahoma, Amerika Serikat pada tahun 1969.


Jenderal asal Sidikalang Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara itu meninggal dunia  pada usia 70 tahun. TB Simatupang meninggal di Jakarta pada 1 Januari 1990. Jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.


Lima (5) tahun kemudian, TB Simatupang dianugerahi tanda jasa Bintang Mahaputra Adipradana. Namun, TB Simatupang baru mendapatkan gelar pahlawan pada November 2013 di masa rezim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). (Berbagai Sumber, MH - Fendi Sinabutar).



Berita Lainnya

Posting Komentar

0 Komentar