Andreas Anangguru Yewangoe (FB) |
MHO-Sekarang DPR sedang membahas RUU KUHP. Diantaranya menyangkut delik agama. Materi delik ini dipilah menjadi dua bahagian: Tindak Pidana terhadap Agama; dan, Tindak Pidana terhadap kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah.
Mengenai yang pertama, ini menyangkut melakukan penghinaan terhadap agama, menyebarluaskan penghinaan agama melalui media tulisan, gambar, rekaman, teknologi informasi; melakukan tindak pidana yang sama dengan penghinaan agama belum lewat 2 tahun dari pemidanaan yang pertama; menghasut agar meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut syah di Indonesia.
Mengenai yang kedua, ini menyangkut mengganggu atau merintangi dengan kekerasan kegiatan ibadah atau pertemuan keagamaan; membuat gaduh di dekat kegiatan keagamaan; menghina orang atau pemimpin keagamaan yang menjalankan ibadah; menodai, merusak, atau membakar bangunan tempat ibadah.
Kelihatannya pasal-pasal ini baik-baik saja. Tetapi kalau diteliti lebih mendalam ternyata terkandung di dalamnya banyak masalah. Dalam pengalaman yang lalu, apa yang disebut UU Penodaan Agama cenderung menjadi pasal karet. Artinya interpretasinya sangat tergantung dari siapa yang mengatakannya.
Tetapi sebelum kita berjalan lebih jauh perlu ditegaskan bahwa tidak ada seorangpun yang ingin agamanya dihina. Setiap orang ingin hidup harmonis tanpa menghina satu sama lain berdasarkan agama yang dianutnya.
Ini kondisi ideal. Pencapaian kondisi ideal ini berjalan sejajar dengan tingkat kedewasaan masyarakat di dalam mengungkapkan imannya.
Hal ini hanya dapat dicapai melalui proses edukasi yang sudah dimulai sejak TK hingga ke tahap-tahap berikutnya. Andaikata semua orang bertindak dewasa dalam beragama, maka banyak sekali masalah (bernuansa) agama dapat dihindari.
Sayang sekali di dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Kita menghadapi kecenderungan di mana agama seseorang dikecilkan bahkan dihinakan.
Sayang sekali di dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Kita menghadapi kecenderungan di mana agama seseorang dikecilkan bahkan dihinakan.
Menghadapi hal-hal seperti ini, lalu pertanyaannya adalah, haruskah penyelesaiannya dengan sebuah UU khusus menyangkut delik agama?
Ada ahli hukum berpendapat bahwa agama bukanlah subyek yang dapat merasa terhina. Maka di sini akan dihadapi kesulitan di dalam pembuktian, yaitu siapa yang berhak menentukan atau mewakili bahwa agama sungguh-sungguh merasa terhina.
Ada ahli hukum berpendapat bahwa agama bukanlah subyek yang dapat merasa terhina. Maka di sini akan dihadapi kesulitan di dalam pembuktian, yaitu siapa yang berhak menentukan atau mewakili bahwa agama sungguh-sungguh merasa terhina.
Mungkin saja ada yang mengklaim dirinya merasa terhina, tetapi punyakah ia wewenang untuk mewakili semua orang yang tergolong pada agama tersebut?
Ini juga memperlihatkan tidak jelasnya "korban", prinsip penting di dalam hukum pidana. Justru dengan jelasnya korban, maka pemulihan terjadi. Intinya, tidak mudah mewakili agama yang bukan subyek itu di dalam delik hukum.
Hal kedua yang tidak kurang pentingnya adalah bagaimana menginterpretasi sebuah ucapan itu penghinaan atau tidak. Bagi si A mungkin penghinaan, tetapi bagi si B, tidak. Bahkan para pemimpin agamapun belum tentu interpretasi mereka sama terhadap sebuah ucapan atau perilaku.
Dengan segera terlihat betapa tidak mudahnya menentukan apakah sebuah ucapan atau perilaku adalah penghinaan atau tidak. Dalam pengalaman di beberapa negara, yang menjadi sasaran dari Blasphemy Law adalah yang terlemah di dalam masyarakat.
Lalu bagaimana dengan hate speech, perusakan bangunan, mengganggu umat yang beribadah, tindakan intoleran, dan seterusnya? Untuk kejahatan-kejahatan macam ini dapat diterapkan pasal-pasal lain yang terdapat dalam KUHP yang tidak harus dikaitkan dengan agama.
RUU KUHP ini sekarang sedang dibahas di DPR. Mumpung masih dalam pembahasan, kita serukan kepada anggota-anggota DPR untuk sangat berhati-hati dan akurat. Janganlah demi mengejar 'jam tayang" lalu dengan segera disetujui. Lebih baik lagi kalau delik penghinaan terhadap agama itu dihentikan pembahasannya.
Hal kedua yang tidak kurang pentingnya adalah bagaimana menginterpretasi sebuah ucapan itu penghinaan atau tidak. Bagi si A mungkin penghinaan, tetapi bagi si B, tidak. Bahkan para pemimpin agamapun belum tentu interpretasi mereka sama terhadap sebuah ucapan atau perilaku.
Dengan segera terlihat betapa tidak mudahnya menentukan apakah sebuah ucapan atau perilaku adalah penghinaan atau tidak. Dalam pengalaman di beberapa negara, yang menjadi sasaran dari Blasphemy Law adalah yang terlemah di dalam masyarakat.
Lalu bagaimana dengan hate speech, perusakan bangunan, mengganggu umat yang beribadah, tindakan intoleran, dan seterusnya? Untuk kejahatan-kejahatan macam ini dapat diterapkan pasal-pasal lain yang terdapat dalam KUHP yang tidak harus dikaitkan dengan agama.
RUU KUHP ini sekarang sedang dibahas di DPR. Mumpung masih dalam pembahasan, kita serukan kepada anggota-anggota DPR untuk sangat berhati-hati dan akurat. Janganlah demi mengejar 'jam tayang" lalu dengan segera disetujui. Lebih baik lagi kalau delik penghinaan terhadap agama itu dihentikan pembahasannya.
Marilah kita lebih menekankan pada proses pendewasaan masyarakat melalui pendidikan dan edukasi. Dengan demikian kita mengharapkan bertumbuhnya sebuah masyarakat yang mampu mengelola dirinya sendiri. Merdeka!. (Penulis: Andreas Anangguru Yewangoe-Mantan Ketua PGI)
Sumber: FB-Andreas Anangguru Yewangoe (19 Maret 2018)
Sumber: FB-Andreas Anangguru Yewangoe (19 Maret 2018)
0 Komentar