Berita Terkini

10/recent/ticker-posts

Kisah Pilot Batik Air Melihat Laut Berlubang Sebelum Tsunami

Suasana bibir pantai Taman Ria yang rata usai diterjang tsunami di wilayah Talise, Palu Barat, Sulawesi Tengah, 30 September 2018. ( Foto: Antara / Muhammad Adimaja )
Tepat menjelang pesawat mengudara gempa terjadi dan badan pesawat sempat bergoyang di landasan pacu.

Jakarta, MH- Berbagai kisah yang sering tidak terjangkau akal manusia dan kadang-kadang terdengar seperti mukjizat kerap terdengar setelah terjadinya musibah kemanusiaan yang besar, termasuk pasca-gempa dan tsunami yang melanda sejumlah wilayah di Sulawesi Tengah, Jumat (28/9/2018) lalu.

Seorang pilot Batik Air berkisah bahwa dia punya perasaan tidak enak dan seperti ingin segera meninggalkan Bandara Mutiara SIS Al-Jufrie, Palu, sesaat sebelum terjadinya gempa dahsyat 7,4 Skala Richer ketika itu.

Keputusan Kapten Mafella untuk mempercepat tinggal landas tiga menit dari jadwal ternyata mampu menghindarkan pesawat dan semua orang di dalamnya dari bencana, karena tepat menjelang pesawat mengudara gempa terjadi dan badan pesawat sempat bergoyang di landasan pacu.

Permukaan landasan bergoyang "seperti kain ditiup angin", demikian dikisahkan.

Sang Kapten berkisah bahwa setelah pesawat mengudara, dia menengok ke bawah dan melihat fenomena alam yang aneh. Air laut di pinggir pantai membentuk lubang yang sangat besar sehingga dasar laut seperti terlihat.

Setelah pesawat mendarat di Makassar, barulah dia diberitahu bahwa telah terjadi gempa bumi dan tsunami di Palu dan petugas air traffic control (ATC) Palu bernama Anthonius Gunawan Agung ikut menjadi korban setelah memastikan pesawatnya lepas landas.

Agung diberitakan sempat dirawat di rumah sakit setempat namun kemudian meninggal sebelum sempat dibawa ke rumah sakit yang lebih besar di Balikpapan pada Sabtu (29/9/2018) pagi.

Kapten Mafella juga menyebutkan bahwa sebelum musibah terjadi, dia sudah merasa tidak tenang saat hendak mendarat di Palu.

Bandara itu diapit pegunungan yang oleh para pilot disebut sebagai valley of death atau lembah kematian karena angin yang selalu bertiup kencang dan kanan kiri ada gunung sehingga mereka harus ekstra hati-hati saat mendarat. Sang kapten berkisah bahwa untuk mengusir kekhawatirannya, dia terus menyanyikan lagu-lagu rohani sampai ko-pilot di sampingnya berseloroh agar dia membuat rekaman sendiri.

Sesampainya di Palu, dia punya perasaan aneh untuk lekas pergi dari bandara itu, sehingga dia menginstruksikan awak pesawat agar beristirahat 20 menit saja sebelum pesawat kembali ke Makassar.

Kapten Mafella mengatakan dia bahkan tidak turun dari kokpit pesawat dan meminta izin kepada menara pengawas unttuk mempercepat lepas landas tiga menit dari jadwal yang sudah ditentukan.

Izin itu diberikan oleh Agung, dan mereka segera bersiap lepas landas.

Dalam kisahnya, Kapten Mafella mengatakan dia mengambil alih tugas ko-pilot dengan menambah kecepatan pesawat saat proses lepas landas. Dia mengaku tidak tahu kenapa, tetapi tangannya terus memegang tuas untuk menambah kecepatan agar pendakian segera dimulai.

Para awak pesawat belum menyadari kalau gempa melanda Palu, tetapi mereka merasakan pesawat sedikit oleng ke kiri dan kanan. Menurut sang kapten, kalau saja dia terlambat tiga menit, maka dia tidak akan bisa menyelamatkan 140 penumpang karena landasan pacu yang bergoyang hebat.

Beberapa menit selepas take off, dia mencoba menghubungi pihak menara namun sudah tidak dijawab lagi oleh Agung.

Kisah Kapten Mafella ini disampaikan kepada Jemaat Gereja Duta Injil BIP di Jakarta Selatan, dan dituturkan ulang oleh salah satu jemaat bernama Otniel Reza, Minggu (30/9/2018). Kisah Kapten Mafella juga diunggah dalam video berikut:



Sampai berita ini diturunkan, redaksi belum berhasil menghubungi Kapten Mafella.

Sumber: BeritaSatu.com

Berita Lainnya

Posting Komentar

0 Komentar