Berita Terkini

10/recent/ticker-posts

Analis Keamanan: Aksi Kedaulatan Rakyat, Gerakan Mandul Para Pensiunan

Ilustrasi unjuk rasa. ( Foto: Antara )
Jakarta, MH - Dalam beberapa hari belakangan ini beredar narasi provokatif yang mengajak para pendukung pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga S Uno di seluruh Indonesia untuk melakukan aksi secara terstruktur, sistematis, dan masif, mengatasnamakan rakyat Indonesia untuk menolak proses Pilpres 2019. 

Mereka melakukan teror psikologis kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai institusi resmi penyelenggara pemilu.

Aksi Kedaulatan Rakyat (AKR) itu pertama kali dicetuskan oleh Amien Rais dan didukung oleh Badan Pemenangan (BPN) Prabowo Sandi. AKR muncul setelah narasi people power direspon secara profesional oleh negara, lewat Polri, dengan menjerat para provokator aksi ini dengan tuduhan makar.
“Sekilas, narasi yang dibuat ini memiliki nilai kebenaran. Akan tetapi, apabila dibedah, maka sangat jelas terlihat bahwa ini adalah narasi-narasi yang miskin argumentasi atau baseless, bahkan cenderung kekanak-kanakan,” ujar analis konflik dan konsultan keamanan, Alto Labetubun di Jakarta, Sabtu (18/5/2019).
Beberapa narasi dan imbauan AKR yang dimaksud, antara lain meminta negara bertanggung jawab atas meninggalnya ratusan anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) saat pelaksanaan Pemilu 2019.
Lalu, menuntut pertanggungjawaban penyelenggara pemilu atas segala bentuk kecurangan yang terjadi secara masif, sistematik, dan terstruktur. Selain itu, menolak hasil perhitungan penyeleggara pemilu yang dinilai telah melanggar ketentuan undang-undang serta menuntut pemerintah atas ketidakadilan hukum terhadap rakyat, penyimpangan pelaksanaan pemilu, dan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.
“AKR, misalnya, memakai narasi kecurangan dengan mengutip UU Pemilu. Tetapi, mereka sama sekali lupa bahwa amanat UU Pemilu memberikan ruang bagi peserta pemilu, baik pileg maupun pilpres, untuk melaporkan kecurangan, tindak pidana yang berkaitan dengan pemilu, bahkan sengketa pemilu,” kata Alto.
Dengan demikian, kata Alto, maka argumentasi AKR ini adalah hipokrit. AKR terkesan berniat menegakkan hukum, tetapi caranya justru mencederai hukum itu sendiri dengan melakukan provokasi yang berpotensi menciptakan instabilitas.
Secara taktis, kata dia, ada kemungkinan AKR itu bisa terjadi sesuai desain, tetapi kemungkinannya (likelihood) sangat rendah. Sangat terlihat bahwa nafsu (appetite) dari partai politik peserta pemilu yang dulu bersama-sama dengan para pensiunan penggerak AKR itu sudah tidak ada lagi.
“Maka, suplai dana pun sudah semakin berkurang. Di samping itu, menggerakkan orang di seluruh Indonesia itu tidak gampang, karena setiap daerah memiliki konteks yang berbeda-beda. Tentunya, keberhasilan dan ketegasan intelijen dan Polri yang dibantu TNI untuk mengamankan proses pemilu itu menjadi deteren yang ampuh,” tuturnya.
Oleh karena itu, ujar Alto, terlihat bahwa AKR sama sekali tidak mengatasnamakan rakyat, bahkan secara lugas menarik rakyat ke dalam konflik dan disintegrasi. Apabila terjadi, AKR sangat merugikan bangsa dan negara Indonesia, termasuk rakyat Indonesia yang sebagian besar cinta damai.
“Itu artinya, AKR adalah gerakan mandul yang dilakukan oleh beberapa orang pensiunan, seperti Amien Rais, didukung oleh BPN yang keberadaannya sudah tidak relevan lagi karena sudah ditinggal oleh partai politik yang dulu bersama-sama di dalamnya. 
Ini adalah upaya segelintir pensiunan yang berkolaborasi dengan kelompok yang mengkampanyekan kekerasan berbasis ekstremisme untuk berkuasa, walaupun darah dan nyawa rakyat menjadi tumbalnya,” ujar Alto.


Sumber: Suara Pembaruan


Berita Lainnya

Posting Komentar

0 Komentar