Berita Terkini

10/recent/ticker-posts

Samosir Memilih : Dipundakmu Kutitipkan Sejahteraku

Dr Pernando Sinabutar, S.Hut, M.Si.

Manado, MH - SAMO idaon sian bariba tao, alai SIR roha dung sahat dibagasan (gersang terlihat dari seberang, namun langsung gembira setelah menginjakkan kaki di tanah Samosir). “Lao pe au mar huta sada. Tung so pola leleng nga mulak au. 

Di parjalangan ndang sonang au. Sai tu Pulo Samosir masihol au. Kira-kira terjemahannya seperti ini, “Sekalipun pergi ke kampung lain, tidak lama aku sudah pulang. Di perantauan aku tidak betah, ke Pulau Samosir aku selalu rindu”. 

Tanggal 9 Desember 2020, Samosir akan memilih Bupati/Wakil Bupatinya kali yang kelima, yang mau membangun Samosir untuk kesejahteraan masyarakatnya. Debat pertama kandidat calon Bupati/Wakil Bupati Samosir telah dilaksanakan KPU Kabupaten Samosir tanggal 16 November 2020 yang lalu. 

Tiga kandidat telah memaparkan Visi, Misi dan program yang akan dikerjakan 5 (lima) tahun ke depan. Visi 3 (tiga) kandidat itu relatif sama “Membangun Samosir untuk Kesejahteraan Masyarakat”. 

Tulisan ini tidak mengulas bagaimana jalannya debat itu, siapa yang lebih siap dan yang kurang siap, bagaimana tanya jawab antar pasangan calon (paslon), dan pandangan paslon terhadap pertanyaan panelis maupun dari masingmasing paslon, bahkan tidak juga membahas “closing statement” masing-masing paslon. 

Penulis tertarik pada situasi yang musti segera dipikirkan, ketika ketiga paslon akan mengimplementasikan Visi, Misi dan program yang telah dipaparkan. Situasi itu adalah persoalan lahan/tanah yang akan digunakan sebagai letak untuk membangun. 

“Persoalan lahan atau tanah” adalah satu akar masalah yang hingga saat ini belum ada pengaturannya, padahal setiap pikiran, wacana dan narasi yang dibangun untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seluruhnya butuh tanah. 

Tanah adalah tapak untuk membangun, sehingga musti diatur, apalagi karakteristik tanah di Kabupaten Samosir sangat khas. Pengaturan pemanfaatan dan penggunaan tanah harus segera dipikirkan, sehingga paslon terpilih dapat mengurangi “turbulence” tanah, saat memulai programnya. 

Oleh karena itu, jelang menjadi Bupati/Wakil Bupati terpilih, tulisan ini dapat menjadi masukan, sehingga “take off”nya mulus. Bahkan, persoalan tanah ini mungkin dapat menjadi pembahasan pada debat berikutnya. 

Tidak dapat dipungkiri, lebih kurang 46,67% luas daratan Samosir adalah kawasan hutan (hutan negara) sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 579/Menhut-II/2014 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara, termasuk Kabupaten Samosir. 

Seluas lebih kurang 67.407,21 hektar adalah hutan negara dengan rincian Hutan Lindung (HL) lebih kurang 49.731,40 hektar; Hutan Produksi Tetap (HP) lebih kurang 17.673,42 hektar; dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) lebih kurang 2,38 hektar. 

Jika melihat data itu, hampir setengah daratan Samosir adalah hutan negara, yang berarti untuk memanfaatkannya harus hati-hati dan perlu memahami aturan main dalam memanfaatkan, bahkan menggunakannya. 

Dengan kata lain, tidak boleh sembarangan, apalagi yang namanya HL. Pertanyaannya, apabila daratan yang masih tersisa (di luar hutan negara) digunakan untuk permukiman masyarakat, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan garapan, dan pertanian lahan kering yang menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat setempat, dimana lagi Samosir membangun?. 

Ini pertanyaan serius, apalagi kebutuhan lahan terus meningkat, sedangkan lahan terbatas (tetap). Karakteristik Pemilikan Tanah di Kabupaten Samosir Affandi O dan Harianja A (2009), pernah melakukan penelitian terkait dengan Sistem Tenurial dan Pengelolaan Lahan secara Kolaboratif di sekitar Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba, termasuk Kabupaten Samosir, dan menyimpulkan sistem kepemilikan lahan/tanah ada di Kabupaten Samosir, yaitu : 

(1) lahan milik individu, adalah lahan yang dimiliki secara perorangan (satu orang individu tertentu), yang sebagian besar diperoleh dari warisan orang tua, pemberian saudara, dan hasil pembelian dan pada umumnya digunakan untuk kegiatan produktif (lahan pertanian, kebun/ladang, hutan) dan juga lahan kosong; 

(2) lahan milik individu yang pemiliknya tinggal di luar kawasan DTA Danau Toba yaitu lahan yang dimiliki secara perorangan, namun pemiliknya tidak tinggal di kawasan DTA Danau Toba, umumnya merantau ke luar kota, bahkan ada yang ke luar negeri, dan biasanya pengelolaan lahannya dilakukan oleh saudaranya yang tinggal di kampung, sehingga banyak lahannya yang kosong dan tidak produktif; 

(3) lahan milik marga, adalah lahan milik bersama (komunal) dari keturunan tertentu dan belum dibagi-bagi kepada anggota marga (marga adalah kelompok kekerabatan menurut garis keturunan ayah (patrilineal)). Lahan milik marga dibagi menjadi dua bagian yaitu lahan yang dimiliki beberapa marga tertentu (“bius”) dan lahan yang dimiliki satu marga saja (“golat”). 

Pada umumnya pola pemanfaatan lahan marga ini berupa lahan kosong dan hutan adat (marga), dan pengelolaannya diatur oleh aturan adat, dan tidak boleh dipindahtangankan (diperjualbelikan) sebelum lahan tersebut dibagi-bagikan dan menjadi milik individu dan lahan tidak boleh diubah peruntukannya (pola pemanfaatannya) meskipun untuk ditanami pohon seperti kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. 

Untuk mengubah pola pemanfaatan lahan harus ada kesepakatan bersama dari seluruh anggota marga; 

(4) lahan milik swasta adalah lahan yang merupakan lahan negara yang dikuasi oleh pihak swasta atau perusahaan setelah mendapat izin dari negara. Lahan milik swasta pada umumnya berupa lahan konsesi hutan maupun perkebunan; dan

(5) lahan milik negara yaitu lahan yang tidak dibebani hak milik, dan pada umumnya pola penggunaan lahannya berupa hutan, baik hutan produksi maupun hutan lindung. Pengelolaan lahan milik negara, dilakukan langsung oleh negara dan ada juga yang dikelola oleh pihak swasta dalam bentuk konsesi pengelolaan lahan. 

Adat dan kekerabatan masyarakat, dikenal Dalihan Na Tolu, yang menyebutkan tiga pihak utama dalam adat dan kekerabatan, yakni : 

(1) “hula-hula” yaitu pihak keluarga marga pihak istri (besan) atau paman; 

(2) “dongan tubu” yaitu saudara semarga, dan 

(3) “Boru” yaitu saudara perempuan kita dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah, dan menantu. 

Aturun-aturan yang terkait dengan Dalihan na tolu dalam hal kepemilikan dan penguasaan lahan, terutama tanah antara lain : 

(1) warisan, yaitu tanah warisan diberikan orang tua kepada anaknya yang laki-laki, setelah orang tua meninggal. Anak perempuan pada umumnya tidak memperoleh waris dari ayahnya, kalaupun anak perempuan memperoleh tanah atau sawah bukan merupakan warisan melainkan sebagai pemberian (silehon-lehon). Lahan warisan akan diberikan kepada anak laki-laki secara merata jika terdapat dua atau lebih anak-laki-laki; 

(2) pauseang, yaitu sebidang lahan (khususnya sawah) yang diberikan pihak hulahula pada anak perempuannya pada saat anak perempuannya tersebut menikah; 

(3) ulos nasora buruk (kain batak yang tidak akan usang), yaitu lahan yang diberikan oleh hula-hula kepada borunya untuk dimiliki dan dikelola. Pihak hula-hula akan memberikan lahan tersebut atas permintaan pihak boru setelah boru tersebut mempunyai anak laki-laki. Lahan ini boleh dipindahtangankan namun harus disetujui oleh pihak pemberi lahan (hula-hula); 

(4) indahan arian (sumber makanan), yaitu lahan yang diberikan oleh hula-hula kepada borunya dengan dibarengi hak kepemilikan, namun tidak boleh dipindahtangankan kepada pihak lain; 

(5) panjaean (batu loncatan), yaitu sebidang tanah yang diberikan oleh orang tua, ketika orang tuanya masih hidup, kepada anak laki-laki setelah anak laki-laki tersebut menikah; 

(6) dondontua, yaitu tanah yang diberikan pada cucu laki-laki tertua dari anak laki-laki tertuanya; 

(7) upasuhut, yaitu sebidang tanah yang diberikan pada cucu laki-laki tertua dari anak laki-laki bungsu; dan 

(8) marga di luar marga pemilik tanah dapat memilki tanah jika mereka telah menikah dengan perempuan dari marga pemilik tanah. Mereka biasanya disebut sonduk hela. Tanah yang diperoleh dapat diwariskan kepada keturunannya tetapi tidak dapat dijual atau dihibahkan kepada pihak lain. 

Selain aturan tradisional kepemilikan lahan tersebut, terdapat juga sistem perpindahan hak lahan di masyarakat Batak Toba (Situmorang 2000), yakni : 

(1) dondon (gadai), yaitu pemilik lahan boleh menggadaikan satu areal lahan kepada pihak lain, dengan kewajiban pembeli lahan harus memberikan lahan tersebut kepada pemilik awal kapanpun ketika si pemilik lahan menebusnya kembali. Gadai biasanya dilakukan sesama penduduk desa atau antara anggota keluarga; 

(2) mamola pinang (hak pakai), yaitu pengelola lahan memberikan “sewa” lahan dari hasil panen, terutama padi sawah, dengan perbandingan antara penyewa dan pemilik, dua banding satu dari hasil bersih lahan setelah dikurangi biaya input produksi; 

(3) pate (jual putus), yaitu lahan dijual secara penuh kepada pihak lain, dengan catatan harus ditawarkan dulu ke pihak “dongan tubu” (saudara semarga) si pemilik lahan, dan apabila saudaranya tidak mau membeli, baru boleh ditawarkan ke marga ataupun pihak lain. Tanah perlu untuk Letak Pembangunan Situasi yang dijelaskan di atas, akan menjadi persoalan, manakala tidak ada pengaturan-pengaturan yang ditetapkan pemerintah, terkait tanah. 

Paslon terpilih perlu mengaturnya, misalnya dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Dalam suatu diskusi yang pernah diselenggarakan sebuah lembaga non pemerintah yang ada di Kabupaten Samosir, mengemuka kasus “ada investor yang mau membangun wisata desa, butuh tanah lebih kurang 1 hektar, namun tidak tersedia, padahal banyak tanah yang kosong dan terlantar”. 

Tanah memang luas, tetapi untuk memakainya terbentur pada karakteristik tanah yang dijelaskan sebelumnya. Dalam situasi inilah, pemerintah hadir (salah satunya memakai Perda), menyediakan tanah dengan pengaturan yang sedemikian rupa dalam pemanfaatan dan penggunaannya. 

Perlu diketengahkan juga bahwa wilayah Kabupaten Samosir merupakan wilayah yang didiami dan dihuni oleh masyarakat dengan adat istiadat serta hak-hak tradisional lainnya yang sudah lama tumbuh dan berkembang serta tetap dipelihara dengan baik sampai saat ini. 

Untuk menjamin perlindungan dan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanahnya, penetapan Perda adalah keniscayaan. Tanahtanah terlantar yang tidak memberikan manfaat, namun tidak dapat dimanfaatkan dan digunakan karena terbentur karakteristik kepemilikannya, musti segera diatur. 

Dahulu, Samosir terkenal sebagai penghasil bawang, kacang, mangga, padi, bahkan ternak. Selain terbesar, juga khas. Kekhasan itu ditulis dalam lirik lagu Pulau Samosir (bait kedua) “Disi do pusokhi pardengkeanhu haumangki. 

Gok disi hansang nang eme nang bawang. Rarak do pinahan di dolok i”. Terjemahannya “Di situ hatiku, sawahku tempat hidup ikan. Banyak di situ kacang, dan padi, dan bawang. Ternak bertebaran dibukit”. 

Paslon terpilih, persoalan tanah kami titip dipundakmu untuk diatur. Tanah bagian strategis dari pembangunan yang dimanfaatkan dan digunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Pengaturan tanah akan memudahkanmu “Membangun Samosir dan Mensejahterakan Masyarakat”, itulah VISI-mu. (Oleh Dr Pernando Sinabutar, S.Hut, M.Si, Bekerja di Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VI Manado).

Berita Lainnya

Posting Komentar

0 Komentar