Berita Terkini

10/recent/ticker-posts

"Buah" SKB 2 Menteri, Gereja Disegel (Lagi) di Jambi

Warga histeris saat gerejanya disegel (Foto: tribunnews.com)
Jambi, MH-Kamis (27/9/2018), Pemerintah Kota Jambi melakukan penyegelan terhadap 3 gereja di Jambi yaitu GMI Kanaan Jambi, GSJA dan HKI. Alasan klasiknya, gereja tersebut tidak memiliki IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) dalam hal ini mendirikan tempat ibadah. 

Ibarat petir di siang bolong, mungkin itu yang dirasakan para pengurus dan jemaat gereja yang sudah bertahun-tahun, setiap hari Minggu mereka bisa dengan tenang beribadah di gereja masing-masing. Pengurus GMI Kanaan Jambi misalnya menyebutkan gereja tersebut sudah dibangun sejak 13 tahun silam.

Pemerintah Kota Jambi menyebut penyegelan yang dilakukan merupakan hasil keputusan bersama antara FKUB, Lembaga Adat Melayu Jambi, MUI, Kepolisian dan instansi terkait lainnya.

"Ini telah melalui rapat antara FKUB, MUI, LAM dan instansi terkait," kata Liphan Pasaribu Kepala Badan Kesbangpol Kota Jambi.

Ada informasi menyebutkan, beberapa hari sebelumnya telah beredar surat mengatasnamakan sekelompok warga yang berencana melakukan demo di tempat ibadah (gereja) yang telah disegel tersebut. Dalam suratnya, mereka mengklaim akan membawa massa sebanyak seribu orang.
Di Kota Jambi, peristiwa penyegelan gereja bukan baru sekali ini saja terjadi. Kejadian serupa sempat menimpa HKBP Syalom Aur Duri. 

Gereja ini disegel tanggal 14 Desember 2011 oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Jambi. Penyegelan dilakukan kembali pada 8 Desember 2016 lantaran gereja tersebut belum mengantongi izin. Selain itu, penyegelan juga dilakukan karena adanya penolakan keras dari warga di lingkungan sekitar bangunan gereja tersebut.

SKB 2 Menteri

Jika dirunut lebih dalam maka bisa dikatakan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 atau dikenal dengan SKB (Surat Keputusan Bersama) 2 Menteri sebagai hulu masalahnya. Salah satu poin dalam peraturan tersebut mengatur prosedural tata cara pendirian tempat ibadah.

Ada empat syarat dalam peraturan itu yang harus dipenuhi dalam mendirikan sebuah rumah ibadah. Pertama, daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah.

Kedua, dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa. Ketiga, rekomendasi tertulis Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota. Keempat, rekomendasi tertulis Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kabupaten/Kota.

Sejak awal, peraturan ini sudah ditentang banyak pihak karena dianggap terlalu memberatkan khususnya kaum minoritas dalam mendirikan rumah ibadah. 

Mengumpulkan dukungan minimal 60 orang bukan pekerjaan mudah, apalagi jika yang diminta tanda tangan adalah warga yang agamanya berbeda dengan pihak yang akan mendirikan rumah ibadah. Potensi penolakan tentu menjadi cukup besar.Kesulitan memenuhi persyaratan tersebut sudah dirasakan GMI Kanaan Jambi yang mengaku telah melakukan upaya bahkan sejak gereja mereka berdiri, 13 tahun silam. 

Gereja HKBP Syalom Aur Duri yang sempat disegel, namun 9 Agustus 2017 lalu telah memperoleh IMB pun mengaku mereka harus menunggu dan berjuang selama 20 tahun sebelum mendapatkannya.

Maka keliru jika ada anggapan bahwa pengurus dan jemaat gereja dengan sengaja melakukan pembangkangan, tidak mematuhi aturan pendirian rumah ibadah.

Peristiwa penyegelan tempat ibadah jelas selalu menimbulkan banyak tanda tanya di benak kita. Gereja maupun tempat ibadah lainnya merupakan tempat sakral bahkan dianggap suci oleh para pemeluk agama. 

Tempat ibadah bukan tempat maksiat yang jelas-jelas bisa menimbulkan keresahan dan gangguan umum. Pemerintah semestinya bergiat menyegel tempat-tempat maksiat bukan tempat ibadat. 

Sudah banyak terjadi aksi kekerasan, penutupan, penyegelan bahkan pembakaran gereja di tanah air, dilakukan sekelompok orang yang konon ingin menegakkan aturan. Tidak hanya di Jambi.
Surat segel (Dokpri)
Meski demikian, tuntutan agar pemerintah segera merevisi bahkan mencabut SKB 2 Menteri yang telah menelan banyak korban justru ditanggapi "dingin". Pemerintah berdalih, aturan tersebut diperlukan untuk menjamin terciptanya kerukunan antar umat beragama.

Pertanyaannya, kerukunan macam apa yang ingin dicapai, sementara peraturan tersebut secara jelas dan nyata sudah membuat banyak pemeluk agama tertentu menderita dan tak bisa menjalankan ibadahnya.

Ketika sebuah peraturan secara nyata-nyata tidak mendatangkan manfaat bahkan menimbulkan mudarat, lalu apalagi alasan untuk terus mempertahankannya ? 

Butuh berapa banyak lagi tempat ibadah yang harus disegel, ditutup atau dibakar ? Menunggu berapa banyak lagi air mata warga yang harus tumpah hanya demi memeroleh kebebasan menjalankan ibadahnya dengan damai dan tenang, di negara yang konon konstitusinya jelas-jelas menjamin hal itu ? 

Jambi, 28 September 2018.

Berita Lainnya

Posting Komentar

0 Komentar